Saturday, May 11, 2013

PP82 – Regulasi tanpa Insentif


Selasa tgl 7 Mei lalu saya diundang oleh idEA – Indonesia E-commerce Association untuk menjadi salah satu narasumber untuk diskusi publik dengan pembahasan tentang PP82 yang berisi tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. (Bagi yang ingin membaca PP 82 dan referensi lainnya, silakan klik di sini)

Tulisan ini merupakan catatan dan opini pribadi saya tentang diskusi tersebut.

Ada 5 agenda utama yang dibahas di dalam diskusi ini, yakni:
  1. Implikasi PP82 terhadap perkembangan UKM, khususnya ekonomi berbasis internet yang berpotensi bertumbuh menjadi layanan regional dan global.
  2. Keseimbangan antara regulasi dan insentif
  3. Definisi transaksi dan pelayanan publik
  4. Penggunaan data center lokal
  5. Nama Domain Lokal


Implikasi PP82 terhadap UKM 


Menurut Ashwin Sasongko – Direktur Jendral Aplikasi & Informatika, latar belakang pemerintah di dalam membuat kebijakan melalui peraturan pemerintah ini didasarkan pada usaha untuk melakukan proteksi atas kepentingan public atas keamanan transaksi online. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat hukum yang bisa dijadikan acuan.

Di dalam implementasi peraturan ini tentu akan terjadi tarik ulur antara keamanan dan kenyamanan. Analogi yang disampaikan adalah dengan adanya proteksi, semisal kita masuk ke hotel internasional bintang lima, maka sangat ketat penjagaan yang dilakukan oleh hotel tersebut agar timbul rasa aman bagi pengunjung. Keamanan dan kenyamanan yang selalu berbanding terbalik, pada akhirnya akan melakukan penyeesuaian dengan munculnya teknologi yang lebih mudah dan praktis sehingga muncul kenyamanan dan keamanan tetap terjaga.

Meskipun didasarkan kepada alasan yang bagus, banyak komponen di dalam peraturan perundangan yang memberikan reaksi negatif dari pelaku e-commerce.

Daniel Tumiwa – Ketua Umum Asosiasi idEA melihat bahwa peraturan perundangan ini sebaiknya lebih kepada sosialisasi dan standarisasi bagi pelaku e-commerce daripada regulasi yang sifatnya penegakan hukum secara kaku. Sebagai analogi adalah label 'halal' pada makanan yang aman dikonsumsi oleh masyarakat muslim. Pencantuman label ini memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Sifat transaksi elektronik bermula dari pertukaran dan transaksi barang antar teman, komunitas dan banyak yang terjadi antar pengguna. Banyak transaksi yang dimulai di Facebook, Kaskus dan Blackberry Messenger. Sulit untuk memberikan jaminan keamanan dan meregulasi transaksi yang terjadi secara organik semacam ini.

Bagi situs e-commerce yang melakukan operasinya secara terbuka, sejak awal mereka fokus di layanan transaksi elektronik. Situs-situs ini akan melakukan standarisasi keamanan sehingga transaksi yang dilakukan di dalam situs tersebut akan dijamin keamanannya. Dengan pemahaman ini maka idEA dan anggotanya mendukung pelaksanaan peraturan pemerintah yang sifatnya partisipatif bagi perusahaan e-commerce untuk melakukan standarisasi keamanan.

Regulasi & Insentif


Wilson Cuaca dari East Venture menyampaikan kemudahan bagi startup untuk memulai bisnis di Singapura, mulai dari skema permodalan hingga dukungan atas penggunaan domain yang diberikan gratis oleh pemerintah. Pemerintah berkolaborasi dengan industri untuk mendukung program inkubasi dan untuk menghindari KKN, pola kerjasama ini dilakukan dengan beberapa perusahaan. Pengalaman saya membuat perusahaan di Singapura adalah seluruh proses pembuatan perusahaan dan membuka rekening bank bisa selesai dalam hitungan jam. 

Menanggapi isyu ini, Azhar Hasyim – Direktur E-Business Kominfo menyatakan bahwa Indonesia terlalu besar jika dibanding Singapura yang hanya sebesar satu kecamatan sehingga tidak bisa dibandingkan begitu saja. Pernyataan ini menunjukkan bahwa tidak adanya usaha untuk belajar dari negara yang sudah lebih maju untuk mendorong adanya insentif pertumbuhan kewirausahaan.

Setelah berdiskusi dengan partner saya Edward Chamdani di Ideosource, kita melihat dari sisi pembentukan perusahaan, ekuitas di Indonesia hanya mengenal 'common share' atau saham/ekuitas. 'Preferred share' atau saham yang memiliki hak khusus masih belum dikenal dan diakui sehingga tidak adanya insentif bagi investor untuk mendukung mekanisme investasi seperti halnya angel investing atau modal ventura. (perbedaan common share dan preferred share bisa dilihat di sini). Masih banyak detil di dalam pola kepemilikan perusahaan yang belum mengadopsi kebutuhan untuk perusahaan berbasis properti intelektual.

Di dalam bisnis modal ventura yang mendapatkan keuntungan dari jual beli ekuitas dari perusahaan, di Indonesia tidak dikenal adanya ekuitas yang dinilai dari properti intelektual, jadi perhitungan selalu didasarkan kepada modal disetor dalam bentuk dana. Hal ini menyulitkan dari sisi valuasi atas perusahaan di bidang teknologi informasi yang berbasis kepada aset properti intelektual. Bagi para entrepreneur yang membangun ekuitas perusahaan dan menghasilkan valuasi yang tinggi atas perusahaan akan sulit dijustifikasi ketika adanya investor baru yang masuk karena semua usaha yang sudah dilakukan sebelumnya tidak bisa dinilai jika tidak adanya setoran modal. Jika terjadi jual beli ekuitas, maka pajak akan diterapkan atas perbedaan harga jual ekuitas dan modal disetor karena pengembangan aset perusahaan berbasis properti intelektual tidak bisa dinilai. Implikasinya adalah pajak menjadi besar karena pengembangan aset intelektual tidak bisa dinilai.

Dengan belum adanya insentif atas regulasi yang memberikan keuntungan bagi investor dan startup, maka yang terjadi adalah Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi basis atas perusahaan-perusahaan startup teknologi informasi yang pada akhirnya akan bermigrasi ke negara-negara yang memberikan insentif kepada mereka.

Definisi Transaksi & Pelayanan Publik


Yang menjadi agenda dalam diskusi ini adalah apakah perusahaan e-commerce bisa didefinisikan di dalam layanan publik. Kominfo menyatakan bahwa berdasarkan atas transaksi yang melibatkan publik, maka semua perusahaan e-commerce masuk di dalam kategori pelayanan publik. bahkan termasuk media sosial.

Gildas Lumy – CTO PT Iman Tekhnologi Informasi yang terlibat di dalam penyusunan PP 82 tidak sependapat dengan layanan publik yang didefinisikan secara luas seperti ini, akan tetapi melihat bahwa peraturan yang sudah dibuat memang punya potensi terjemahan yang luas, maka saya melihat bahwa meskipun penyusun naskah peraturan punya intensi yang berbeda, pada akhirnya nantinya penegakkan hukum yang akan menentukan seberapa jauh ranah layanan publik ini akan diterjemahkan.

Implikasi atas ini adalah semua yang masuk dalam ranah layanan publik, akan masuk di dalam regulasi PP 82. Dalam hal ini akan mencakup layanan e-commerce dan media sosial. 


Penggunaan Data Center Lokal


Data merupakan aset yang sangat penting di era informasi. Dari sisi regulasi, semua penyedia layanan publik diwajibkan untuk menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya

Penyedia layanan internasional menyatakan bahwa hal ini akan membatasi skala ekonomi dan terjadi implikasi biaya penyimpanan data. Adi Kusma – Cofounder Biznet menyatakan bahwa biaya terbesar bukanlah dari sisi penyimpanan data, akan tetapi biaya bandwidth internasional yang akan membebani penyedia layanan. Saya setuju dengan pendapat bahwa penyimpanan data strategis perlu dilakukan di wilayah Indonesia, hal ini mempertimbangkan bahwa konsumsi terbesar data nantinya akan merupakan konten lokal dan pada akhirnya memiliki penyimpanan data dan konektivitas di wilayah Indonesia akan mereduksi biaya operasional.

Hal paling penting dari peraturan ini adalah bahwa data perilaku pengguna Internet akan tersimpan di dalam wilayah Indonesia. Ini sama halnya bahwa data komunikasi di telepon pribadi, data transaksi belanja di bank, semuanya merupakan data pribadi pelanggan yang amannya disimpan oleh penyedia layanan lokal.

Yang perlu diantisipasi oleh seluruh penyedia layanan publik adalah ketika informasi ini berada di institusi yang tidak kompeten di dalam menyimpan data seperti halnya data pelanggan kartu kredit saat ini beredar luas menjadi sasaran telemarketing. Selain itu akses atas informasi ini rentan pula terhadap campur tangan pemerintah yang pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan akses data. Sebagai contoh, Google memberikan transparency report sebagai usaha self disclosure. Model ini perlu dilakukan oleh penyedia layanan publik di Indonesia jika terjadi adanya kebocoran data publik.

Nama Domain Lokal


Penggunaan domain lokal untuk badan usaha dan organisasi yang berdomisili di wilayah Indonesia ini yang paling banyak mendatangkan kontroversi. Alasan dari Kominfo menyatakan bahwa tujuan utama adalah agar semua perusahaan penyedia layanan bisa dijamin bahwa mereka berdomisili di Indonesia dan beroperasi secara legal.

William Tanuwijaya dari Tokopedia menyatakan bahwa untuk kepentingan persaingan internasional, peraturan ini malah membuat kita tidak mampu menjadi pemain internasional. Studi kasus di China bahwa seluruh pemain besar menggunakan domain .com menjadikan mereka pemain internasional yang memberikan layanan kelas dunia dan pelanggan dari seluruh dunia.

Riyeke Ustadiyanto – Founder ipaymu yang punya pengalaman panjang di bidang search engine menyatakan bahwa dengan penggunaan domain lokal, kita akan sulit bersaing di dalam mendatangkan kunjungan di situs karena algoritme Google yang memberikan preferensi atas domain internasional.

Menurut saya, peraturan perundangan ini memang paling tidak kondusif bagi pelaku bisnis dan sangat tidak layak untuk diimplementasikan.

Kesimpulan


Setelah mengikuti diskusi ini, saya mengambil kesimpulan bahwa usaha untuk membuka wawasan pemerintah untuk membuat iklim yang lebih kondusif terhadap kewirausahaan di bidang teknologi informasi ini tidak akan berhasil jika tidak ada perubahan struktural dan institusional.

Hal ini berkenaan bahwa secara struktur Indonesia tidak memiliki model institusi yang memang dirancang untuk pro bisnis. Sebagai analogi kita lihat bahwa setiap perusahaan memiliki divisi Sales/Marketing dan Finance. Secara struktural, Sales/Marketing punya target dan pencapaian atas penjualan dan naiknya pendapatan, sedang Finance melakukan kontrol atas uang masuk dan keluar. Analogi lain adalah tim sepakbola punya striker sebagai penyerang dan kiper berfungsi untuk bertahan.

Di Singapura, pemerintah memiliki kementrian yang selain mengatur perangkat hukum dan administrasi negara, juga membawahi badan seperti IDA (Industry Development Authority) dan MDA (Media Development Authority) yang memiliki kewenangan untuk pengembangan iklim pro bisnis lintas departemen karena mereka merupakan tangan-tangan di dalam pemerintahan untuk melakukan sinergi antar departemen yang punya kepentingan berbeda.

Di Indonesia, lingkungan pro bisnis tidak akan terjadi jika tidak ada badan yang fokus dan punya target pengembangan ekonomi dan bisnis. Tugas dari Kominfo adalah melakukan regulasi, tugas dari Kumham adalah penegakan hukum. Pertanyaan terbesar adalah siapa yang bertanggung jawab atas pengembangan bisnis di Indonesia? Bagi Kominfo tugas membuat regulasi sudah selesai, bukan wewenang mereka lagi bagaimana penegakan hukum dilakukan oleh Kumham maupun dampaknya atas industri. Dan bukan tugas mereka pula bagaimana memberikan insentif pengembangan bagi pelaku industri.

Bagi pelaku bisnis Internet dan e-commerce di Indonesia, berkenaan dengan regulasi dan implementasi PP82, masih cukup waktu untuk mencari kiat praktis menghadapi implementasi regulasi ini.

4 comments:

  1. Menurut Pak Andi, langkah-langkah alternatif apa yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha ecommerce dalam menghadapi regulasi ini?

    Trims

    ReplyDelete
  2. Dari semua aspek yang dibahas, saya setuju bahwa, penerapan domain .id ini yang akan membawa pengaruh terbesar terhadap e-commerce di Indonesia.

    1. Apakah dengan penerapan .id kemudian akan memberikan keamanan kepada pengguna layanan? Kaskus menggunakan domain .id . Apakah tidak ada penipuan di Kaskus? Dari semua penipuan online yang terjadi saat ini, berapa persen yang preventable dengan penerapan domain .id?

    2. Bagaimana pula dengan layanan yang menggunakan subdomain, misalnya indonetwork. Jika dikatakan .id lebih aman, bukankan memberikan false sense of security kepada pengguna Internet Indonesia?

    3. Walaupun syarat pendaftaran .co.id adalah wajib perusahaan, namun pada pelaksanaannya tidak semua domain .co.id dimiliki oleh perusahaan. Ini bisa dicek di whois PANDI, terutama nama-nama domain generik terbaik.

    4. Bagaimana dengan perusahaan asing yang menyediakan layanan ke Indonesia, dengan data center luar dan domain .com ? Apakah pemerintah akan memblokir semua website dengan domain selain .id? Jika tidak, sungguh akan tidak adil terhadap perusahaan Indonesia; di mana perusahaan asing boleh menjual kepada warga Indonesia namun perusahaan Indonesia tidak bisa menjual kepada luar. Jika ya, berarti kita menutup diri terhadap dunia luar; bahkan negara tirai bambu dan tirai besi pun tidak melakukan tindakan seprimitif ini.

    5. Bagaimana pula dengan perusahaan-perusahaan yang terlanjur membentuk brand nya dengan domain .com? Bagi beberapa perusahaan ecommerce di Indonesia seperti rumah.com, nama domain mereka adalah salah satu aset terbesar. Bagaimana jika semua wajib menggunakan .co.id? Nilai ekonomi sebesar triliunan rupiah runtuh dalam sekejap mata.

    6. Dua perusahaan Internet terbesar di dunia, Facebook dan Google, tercipta dari proyek pribadi pendirinya. Ini tidak akan mungkin terjadi jika mereka wajib menggunakan domain .us.

    7. Beberapa negara yang sukses menerapkan country domain name, misalnya .com.au, .co.uk , ataupun .de, juga tidak mewajibkan penggunaan country domain name.

    8. Dari sisi search engine optimization, saat ini Google masih lebih memberikan preference terhadap domain .com daripada .co.id. Jika peraturan ini benar diterapkan, Google mungkin akan merubah algoritmanya, minimal memberikan nilai yang setara antara .com dan .co.id untuk pencarian di Indonesia. Namun, tidak demikian pencarian internasional. Demikian pula dengan masyarakat internasional, yang pasti masih lebih senang link ke domain .com daripada .co.id; akibatnya tetap .co.id kalah saing dari .com.

    Kewajiban penggunaan data center lokal juga menjadi masalah yang cukup besar. Bagi perusahaan besar, efeknya adalah biaya data center yang membengkak menjadi dua kali lipat. Namun biaya bukan masalah satu-satunya.

    - Amazon Web Service memberikan berbagai layanan kemudahan yang diandalkan oleh banyak perusahaan. Jika data center diwajibkan lokal, dan jika Amazon tidak bersedia membuat data center di Indonesia, banyak perusahaan yang wajib mencari layanan alternatif yang mungkin tidak sebaik Amazon.

    - Banyak juga perusahaan yang masih menggunakan jasa layanan web hosting, baik shared hosting, VPS, ataupun dedicated hosting; yang sayangnya saat ini di Indonesia belum banyak layanan yang dapat memberikan kestabilan yang serupa dengan layanan luar.

    Saya setuju dengan pengamatan Pak Andi tentang otoritas IDA dan MDA di Singapura. Jika kita belum punya badan serupa di Indonesia, mungkin alangkah baiknya jika di diskusi berikutnya dapat terlibat stakeholder yang berkepentingan untuk perkembangan ekonomi, misalnya Kementrian Ekonomi ataupun Kementrian Industri dan Perdagangan.

    Dan juga akan sangat baik jika kita bisa mempelajari ulang peran pejabat pemerintahan kita terhadap negeri ini. Di Singapura, pejabat pemerintah disebut sebagai civil servant (alias pelayan sipil). Mungkinkah dengan mengubah panggilan terhadap pejabat pemerintah, dari pegawai negeri (alias dipekerjakan oleh negeri) menjadi pelayan negeri, akan mengubah kinerja pejabat pemerintah menuju ke arah yang lebih baik?

    ReplyDelete
  3. Thanks masukan dan studi kasusnya.

    Tujuan penggunakan domain .id adalah domisili perusahaan dan kepemilikan jelas, sehingga bisa ditrack jika terjadi penipuan di dalamnya karena pemilik domain wajib bertanggung jawab. Dalam hal ini saya setuju bahwa implementasi regulasi ini akan membuat pemilik situs menjadi lebih profesional di dalam memberikan layanan, tetapi yang pasti akan meningkatkan biaya di dalam pembentukan dan operasional perusahaan. Oleh karena itu usulan dari idEA adalah membuat standar label yang bisa digunakan oleh situs jika mereka sudah 'comply' dengan standar keamanan seperti halnya label ISO atau halal.

    Penggunaan domain id menurut saya memang paling tidak masuk akal. Moga-moga Kominfo tidak menutup mata dan telinga atas semua kritik yang sudah diajukan oleh para stakeholder.

    Untuk situs yang menggunakan hosting di luar negeri pasti ada waktu transisi untuk menggunakan data center lokal. Saat ini belum ada institusi yang bertanggung jawab untuk menangani penegakan hukum dan compliance yang disyaratkan di dalam peraturan pemerintah. Akan memakan waktu sedikitnya 2 - 3 tahun sebelum hal ini bisa dilaksanakan.

    Dengan adanya peraturan-peraturan ini, maka seluruh pemain global seperti Google, Facebook dan Amazon akan mulai memikirkan untuk memiliki domisili lokal karena Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Ini tentu menguntungkan bagi kita karena akan ada local office dan local team di mana akan terjadi rekrutmen SDM Indonesia dan terjadi transfer teknologi dan pengetahuan.

    Setuju banget bahwa pejabat publik harus punya mindset civil servant. Mungkin perlu dibuat istilah baru "pramu publik" daripada pejabat publik :)

    ReplyDelete
  4. Saya sependapat dengan Pak Andi tentang standar label keamanan. Akan jauh lebih baik jika dibentuk semacam Better Business Bureau daripada aturan yang kaku. Bahkan saya rasa kalau ada pihak swasta yang mau menggarapnya ini bisa dilakukan tanpa intervensi langsung dari pemerintah, misalnya semacam akreditasi "safety seal" oleh yellowpages.

    ReplyDelete