Monday, May 15, 2006

Separuh Nafas Industri Animasi Lokal

Source: http://aergot.wordpress.com/2008/02/21/separuh-nafas-industri-animasi-lokal/

Posted by algooth putranto on February 21, 2008

Dalam bisnis hiburan, animasi adalah tambang duit yang menjanjikan. Tidak hanya untuk industri layar lebar tapi juga layar kaya. Lihat saja saat pasar heboh dengan dua berita besar seputar akuisisi Dreamworks SKG dan Pixar.

Tercatat untuk mendapat sebagian saham Dreamworks SKG milik Steven Spielberg, George Soros harus merogoh duit hingga US$1,6 miliar. Sedang Walt Disney harus mengelontorkan dana senilai US$7,4 miliar untuk mengakusisi Pixar milik Steve Jobs.

Dreamworks SKG adalah pembuat film Antz, Shrek dan Shrek II yang luar biasa berhasil. Sedangkan Pixar memproduksi Toy Story, Finding Nemo dan The Incredibles yang sukses besar.

Uang yang berputar di industri ini mencapai ratusan juta dolar. Situs boxofficemojo.com menyebutkan film animasi buatan Disney tahun 1937, White Snow and Seven Dwarfs dengan modal US$1,5 juta bisa meraup untung sampai US$186 juta.

Bandingkan dengan animasi buatan Dreamworks SKG atau Pixar yang bisa meraup pendapatan antara US$230 juta hingga US$921 juta.

Ini belum termasuk kekuatan lain seperti Warner Bros dengan Pokemon, Fox dengan Ice Age dan kekuatan tradisional di luar AS seperti Eropa dan Jepang. Dan kekuatan baru seperti China, Korea dan India.

Lalu bagaimana Indonesia? Jawabannya bisa ditebak. Sejak lama Indonesia kondang hanya sebagai gudang tukang di industri film animasi Jepang dan AS.

Data Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia) mencatat nama-nama gudang animator Indonesia a.l Frozzty Entertainment, Tunas Pakar Integraha, Castle Production, Mirage, Pustaka Lebah, Jogjakartun, Mrico, Animad Studio, Jelly Fish, Bulakartun, Griya Studio, Bening Studio, Studio Kasatmata, Asiana Wang Animation, Bintang Jenaka Cartoon Film, Red Rocket, Infinity Frameworks dll.

Tak sedikit diantara banyak nama itu yang kini sudah tutup setelah mengeluarkan karya perdana mereka. Tetapi setidaknya tahun lalu masih sempat muncul serial animasi televisi, Sega Nusantara karya Mahaka Visual Indonesia yang diganjar ABU CASBAA Unicef Child Right Award 2005.

Sebelumnya juga muncul film animasi tiga dimensi layar lebar Homeland hasil kerjasama Visi Anak Bangsa dan Studio Kasatmata. Lalu gelar art director terbaik festifal film animasi Korea Selatan untuk film Cindelaras karya Bening Studio.

“Masalah utama dari industri animasi kita adalah distribusi. Dengan kata lain industri animasi kita belum sepenuhnya mendapat komitmen penuh dari pebisnis lokal seperti televisi dan layar lebar,” ujar Presdir Digital Studio, Andi S. Boediman.

Selain itu, menurut penulis buku Photoshop Master Class, Photoshop Special F/X dan Color Finder itu pelaku industri film lokal kurang memiliki kemampuan membaca peluang pemasaran.

Satu contoh harga serial animasi legendaris Doraemon, dengan durasi 24 menit dihargai US$1.000 per episode. Anda bisa hitung berapa uang yang diterima produsen film tersebut sejak film ini diputar di RCTI sejak tahun 1990.

Hal senada diungkapkan desainer grafis dan animator senior, Tutu alias AG Airlangga yang bercermin pada kurang berhasilnya film animasi-konvensional Janus: Prajurit Terakhir yang disutradarai Chandra S Endroputro.

“Saat itu, para jagoan animasi kita gagal memenuhi tenggat waktu dari jaringan bioskop Studio 21. Akibatnya Janus diputar harus bersamaan dengan Finding Nemo. Tahu sendiri bagaimana,” ujar alumnus desain grafis ITB itu.

Finding Nemo adalah film animasi buatan Pixar yang berkisah tentang ikan badut. Film berbiaya produksi US$40 juta ini adalah animasi paling rumit yang dikerjakan anak usaha Apple Inc. Dari seluruh dunia, Nemo berhasil meraup pendapatan hingga US$865 juta.

Selain itu, lanjut seniman grafiti itu, penyandang dana di dalam negeri masih seringkali ngeri melihat dana produksi film animasi yang super mahal dibanding dana untuk membuat film dengan bintang manusia.

Pada sisi lain, ganasnya pembajakan peranti lunak di dalam negeri sebetulnya mmberi keuntungan dibanding kawan-kawan mereka di luar negeri. Boleh disebut keuntungan sekaligus kerugian.

“Diakui atau tidak banyak anak desain termasuk saya yang kenal software animasi dari produk bajakan. Kerugiannya produk animasi lokal kita juga rentan dibajak,“ujar Aji Bekti, Art Director PT Dentsu Indonesia.

Kurang dihargai

Dibandingkan Jakarta, industri ini justru berkembang di daerah. Sebut saja almarhum PT Marsha Juwita dan PT Atelier Karo di Bali yang sejak lama mengerjakan gambar antara (in between) dan gambar latar (back ground) film Doraemon dan Candy-Candy.

Meski di Jakarta ada banyak studio mapan seperti Bintang Jenaka Cartoon Film, Asiana Wang Animation hingga Mahaka Visual Indonesia. Namun gebrakan animasi nasional justru lagi-lagi dimulai di daerah.

Sebut saja saat Red Rocket Animation, Bandung memproduksi serial film fabel Cerita Aku dan Kau hasil kerjasama dengan PT Nestle Indonesia.

Selain film animasi, mereka juga memproduksi banyak iklan animasi hingga filler pergantian acara di Trans TV, Metro TV dan Seputar Indonesia RCTI.

“Kami juga memproduksi film Pok! Pok! Pok! untuk Malaysia tahun 2001 dan sempat dipercaya mengerjakan order iklan dari AS,” kata Risty A. Maskun, produser utama Red Rocket Animation.

Selain Red Rockets, ada unit animasi Manajemen Qolbu (MQ) TV pimpinan Dudung Abdul Gani. Perusahaan yang berdiri tiga tahun lalu itu telah menghasilkan film animasi Jang MQ dan Rai Raka.

Film kartun anak Islami ini selain tayang di MQTV juga muncul TV7 dan Lativi selama masa Ramadhan.

Sayang meski diakui banyak pihak produk animasi lokal mengagumkan, nasib produksi animasi Indonesia umumnya menyedihkan. Pasalnya, hasil karya lokal tak dihargai dengan layak.

“Orang kita masih belum berpikir kalau produk animasi itu paduan seni dan teknologi. Ada proses kreatif yang harus dihargai dengan wajar,” ujar AG Airlangga dari Splat! dan Animagic, yang menggarap iklan animasi Kondom Fiesta.

Senada dengan AG, Risty menyebutkan klien Indonesia lebih percaya untuk membayar lebih mahal pada perusahaan luar negeri dibanding ke perusahaan lokal. “Animasi asing paling hanya 20%-30% tapi uang yang mereka dapat ratusan kali lipat dari yang kami terima.” .

Tentu saja hal itu berimbas pada pendapatan yang diperoleh animator lokal. Pimpinan MQTV Dudung Abdul Gani membandingkan pendapatan animator lokal dan Singapura.

Dengan kualitas kerja yang sama, animator lokal hanya dihargai antara Rp900.000 hingga Rp2,5 juta/bulan bandingkan dengan gaji animator asal Singapura yang mencapai Rp25 juta/bulan.

Kondisi ini makin diperparah akibat praktik ‘pelacuran’ alias banting harga gila-gilaan produk animasi yang dilakukan oleh perorangan di bawah harga standar yang dibuat perusahaan animasi.

AG Airlangga memberi gambaran untuk pembuatan iklan animasi Kondom Fiesta versi bunglon yang berdurasi 15 detik dibutuhkan dana Rp2 juta per detik. “Sekilas mahal. Tapi untuk bikinnya. Susah!”

Risty menambahkan, untuk membuat satu detik gambar gerak dibutuhkan sedikitnya 25 gambar, animator kadang harus tidak tidur selama dua malam bila sedang menggarap proyeknya.

“Sebenarnya saya senang kalau makin banyak orang Indonesia jago animasi, terbukti kualitas karya perusahaan dengan individu tidak jauh beda. Tapi ya, jangan jatuhkan harga gila-gilaan. Bersaing sehat lah,” ujarnya.

Kondisi ini langsung dirasakan industri animasi di Yogyakarta seperti Studio Bening, Studio Urek-Urek, Studio Kasatmata dan Studio Jutahira yang turun hampir 90%.

Menurut Risty hal itu karena industri animasi seolah ayam tak berinduk. Sejak awal tidak ada instansi yang menaungi sekalipun pemerintah tahu nilai ekonomi di dalamnya cukup tinggi.

Bandingkan perlakuan pemerintah China dan India yang mewajibkan agar perbankan memberi pinjaman tanpa agunan dan bebas bunga pada perusahaan animasi. Kalau terus begini mimpi kejayaan industri animasi Indonesia rasanya makin jauh saja.