Tuesday, November 14, 2006

Design That Works Seminar + ADGI Chapter Surabaya Launching






Source: Surabaya Design Forum

Surabaya 14 September 2006 'nov' mendapat kesempatan hadir di Seminar yang digabung dengan launching ADGI chapter Surabaya. Acara dihelat di Mandarin Oriental Hotel / Hotel Majapahit dengan menghadirkan nara sumber dan parade poster finalis ADGI dengan mengambil tema Light Up The Spirit !.

Seminar terbagi membagi beberapa sesi, dengan 3 orang speaker :

  • Lans Brahmantyo ( After Hours Group ) Creativity that communicates
  • Sakti Makki ( Makki-makki Branding Consult) Building powerful brand expression through strategic branding program
  • Hermawan Tanzil ( LeBoYe ) Inside Graphic House-Inspiration+Mind+Soul

Overall acara berlangsung sangat hidup dan menarik, dari kapasitas maksimal ruang Balai Adhika full dengan semua peserta. Pertama kali setiap peserta harus registrasi ulang+mendapatkan kit dari para sponsor, lalu memasuki lorong parade poster dilanjutkan dengan pemotretan langsung untuk sertifikat.

Mr. Lans Brahmantyo sebagai speaker yang mendapat kesempatan pertama membawakan materi "Creativity that communicates" dengan membawakan beberapa portfolio diantara dari Istana Kepresidenan RI yaitu Rumah Bangsa Project. Dalam materi inti yang disampaikan adalah bagaimana sebuah karya creative tetap memiliki sebuah message atau mampu berkomunikasi.

Inventive
Getting the message across
Imaginative
Experimental
Artistic
Expressive
Innovative
Inspiring
Visionary
Enterprising
Resourcefull

Selanjutnya disambung dengan coffe break, hhmmm... karena jumlah peserta cukup banyak untuk sesi yang satu ini dan makan siang nanti para peserta harus berjubelan, mengantri untuk mendapat camilan, kopi atau teh. Walalu begitu nampaknya semua tetap kebagian bahkan ada yang terlena sampai lupa bahwa waktu sudah memasuki saat Mr. Sakti Makki sudah akan memulai presentasinya.

Dari pengamatan 'nov' ' Building powerful brand expression through strategic branding program' mendapat perhatian serius dari peserta. Mr. Sakti Makki benar-benar sakti, dengan membawakan case study project rebranding Bank BTPN yang saat ini sedang ditangani oleh MakkiMakki Branding Consult. Proses-proses rebranding yang disampaikan sangat detail dan sayangnya materi tidak dapat dishare karena memang masih bersifat confidential coz project masih belum usai. Inti dari presentasi ini, dalam sebuah proses branding terdapat 3 aspek penting yang harus dilakukan dengan baik, yaitu Perilaku, Ekspresi dan Komunikasi dannnn untuk proses Ekspressi dan Komunikasi brand hampir dipastikan selalu terkait dengan aspek Desain.

Pengalaman Coffe Break pada jam sebelumnya nampak beberapa peserta cukup bisa belajar, begitu mengintip lunch sudah siap mereka curi start duluan agar tak perlu berdesak-desakan antri lunch.

Sebagai speaker terakhir Mr. Hermawan Tanzil ( LeBoYe) membawakan 'Inside Graphic House-Inspiration+Mind+Soul' sebuah presentasi yang menarik dengan membawakan beberapa portfolio yang telah mendapatkan penghargaan international. Inti dari yang ingin disampaikan adalah, Sebuah desain yang bisa membuat hidup lebih indah, kaya dan berarti, 'Design Is My Life - Hand, Brain, Heart'.

Dalam setiap sesi speaker selalu diberikan kesempatan tanya jawab yang benar2 dimanfaatkan peserta dengan baik. Sebagai akhir dari rangkaian acara adalah pembagian doorprize dari para sponsor + launcing ADGI Chapter Surabaya.

Awalmula ADGI Sby ini adalah komunitas desainer surabaya dengan initial IDEAS yang telah lama vakum demikian juga dengan ADGI Chapter Jkt yang pernah beberapa belas tahun vakum juga, namun alhamdulillah setelah direvitalisasi bangkit lagi dengan kegiatan-kegiatan yang sejatinya memang diperlukan para designer.

Dalam sela-sela seminar 'nov' mendapat kesempatan ngobrol gayeng dengan salah satu presidium dan team revitalisasi ADGI Andi S. Boediman.

Nov : Pak opo sih resep membentuk komunitas dan menjaga agar tetap hidup
ASB : Cuma 1 ..!! Komitmen..!!! untuk membentuk, menumbuhkan dan menciptakan komitmen itu juga butuh waktu. Kalau satu hal itu dapat dilakukan yang lain bisa jalan sendiri.

Nah itu mungkin PR besar buat SDF, ADGI atau komunitas apapun agar tetap bisa solid dan hidup.

Sipapapun dan apapun bentuknya semoga dapat saling mengisi, memberi, menciptakan kondisi yang baik bagi para designer. Light Up The Spirit !!

Sunday, October 22, 2006

Hobinomik

Source: Tempo




Dari Bandung hin
gga New York, pojok Yogyakarta hingga Perth, mereka melanglang dengan merdeka sembari memetik rezeki dari hobi. Jalan mereka adalah indie—independen—emoh terikat pada industri pasar. Jagat mereka selebar bola dunia, dipertalikan oleh seutas benang merah: kreativitas diri. Sambutlah mereka, Generasi Indie, yang kian melintas dunia.Datanglah ke Bandung, kapan-kapan. Sempatkan tengok bekas gudang tentara di Jalan Gudang Selatan—10 menit bermobil dari downtown Cipaganti yang sohor. Di kompleks kusam yang dipadati bangunan keropos itu, beberapa anak muda menghabiskan hidupnya selama lima tahun terakhir. Salah satu pojok gudang—silakan cek—mereka sulap menjadi ”nirwana kreativitas” bagi 347, ini distro, distribution outlet, terkemuka di Bandung yang telah menggapai Perth, Australia, New Zealand, Singapura.

Mereka menyewa sebidang lantai cukup luas di bekas gudang tentara itu. Tapi jantung Distro 347 berdebar di satu ruangan 35 meter persegi berdinding putih. Isinya, tiga desainer, satu laptop, satu set drum musik merah menyala—biasa digebuk di sela-sela kebosanan. Satu dispenser. Tiga meja, tiga kursi. Itu saja. Ah, ada beberapa majalah grafis. ”Ini tempat main gue, tempat otak terus bernyala,” ujar Dendy Darman, 33 tahun, pendiri Distro 347. Di dekatnya, duduk Yuriza Kenobi. Anli Rizandi ada di ruangan lain, sedang memencet-mencet telepon.

Dari ruangan itu, dari gudang itu, mereka bertamasya visual mengendus tren-tren di New York, London, Tokyo, sembari mengendalikan jaringan 347. ”Apa yang keluar di New York hari ini, bisa kami buat di hari yang sama di Bandung,” ujar Dendy dengan santai. Ribuan karya grafis rancangannya, kaus sampai sampul album band indie, kemasan kaus sampai kantong kresek, lahir di gudang tentara itu. Industri kaus terbirit-birit meniru rancangan mereka, yang berhasil menghidupkan komunitas pencinta produk indie. Setidaknya, di kawasan Bandung dan sekitarnya.

Kini berumur 10 tahun, omzet 347 menurut Dendy sekitar Rp 700 juta-Rp 1 miliar per bulan. Bercanda? Serius! Mereka mempekerjakan sekitar 50 karyawan. Ruang pamer sekaligus tokonya ada di Jalan Trunojoyo dan Jalan Citarum, Bandung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk subsidi kegiatan komunitas indie di berbagai kota: pameran foto dan desain, pentas musik, produksi majalah.

Bandung cuma satu jendela untuk mengintip derak komunitas indie yang kian menjalar di berbagai kota. Distro mereka ada di mana-mana. Sekitar 900 di Bandung, 500-an di Jakarta, dan 60 lebih di Yogyakarta. Lalu, Makassar, Medan, Surabaya.

Pelakunya rata-rata belia atau mengawalinya dari usia muda. Ada Chepoy, Andi Bogel, 24 tahun. Jelita, 19 tahun, Olip Reynaldis, 23 tahun. Memilih jalan indie, independen, mereka emoh didikte arus utama industri pasar dalam urusan produk dan kreativitas. Ekspresif, berani tampil beda, percaya seisi dunia bisa dirangkul, adalah beberapa cirinya. Mereka mewakili fenomena anak muda paling asyik saat ini: hobinomik. Dari hobi, duit dipanen. Dari hobi, rezeki dipanggil.

Hobinomik bukan istilah kosong.
Hasil penelitian terbaru ”Youthology”, yang digelar Ogilvy Public Relations di Jakarta, 2006, merekam denyut kehidupan anak muda kita. Selama ini boleh dikata belum ada riset komprehensif untuk menggambarkan ”anatomi” anak muda Indonesia—kini sekitar 44 juta jiwa atau 20 persen populasi. ”Kita cuma samar-samar mengerti mereka,” kata Wan Lie, anggota tim Ogilvy.

Riset digelar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Makassar, Medan, dan Yogyakarta. Total responden ada 385 pasang anak muda berusia 15-24 tahun. Mereka diwawancarai secara mendalam berkali-kali. Sebagian responden diikuti irama hidupnya secara intensif.
Hasilnya? Sebagian besar responden, 61 persen, menjalani hidup dengan gaya DIY—do it yourself dan do what you love. Pendek kata, gue banget. Kumaha aing, kata orang Bandung. Intinya, gue bisa bikin baju, sepatu, musik, aksesori, film, majalah. Apa saja yang disuka. ”Semangat independen, antikemapanan, menjadi tema utama anak muda,” kata Wan Lie.
Dan, hobinomik adalah muaranya.

Mayoritas responden, 92 persen, menjadi pelaku atau mengenal kawan kerabat yang memetik rupiah lewat hobi. Ada perancang busana, fotografi, pemandu sorak, perancang situs web, pemandu musik (disc jockey), sampai menjadi ilustrator film animasi dan melakukan modifikasi motor.

Penelusuran Tempo di lapangan mengukuhkan hasil riset Ogilvy. Hobinomik kencang bergerak, terutama pada komunitas bawah tanah (underground). Distro, yang menjamur beberapa tahun belakangan, salah satu patokannya. Toko khas anak muda ini tersebar sampai ke gang sempit, unjuk gigi di latar-latar urban.

Perkenalkan, Jelita Dian Andini dari Jakarta. Usia 19 tahun. Hobinya menggambar. Hobi ini ia tuang ke dalam rancangan busana elektrik mencolok dengan sentuhan segar ala Harajuku, gaya bebas ala anak muda Jepang. Dia dibutuhkan di prom night (malam perpisahan sekolah), pensi (pentas seni), acara bintang iklan klip video band, sampai kompetisi pencarian penyanyi pop. Dia menata busana para remaja sebelum naik panggung. Jelita dibayar, tentu saja—sekitar Rp 500 ribu per bulan dari urusan poles-memoles baju.

Dia juga bisa memaksa orang merogoh dompet lebih dalam. Baju-baju rancangannya dilepas di atas setengah juta rupiah per potong. Tahun lalu, ”Saya meluncurkan busana dengan label Nii Production,” kata si nona dengan bangga.

Dia dan ribuan anak muda lain yang mencemplungkan diri ke wilayah hobinomik menunjukkan satu hal: hukum besi ekonomi berlaku pada segala zaman. Pasar hobinomik terbuka luas karena ada permintaan. Satu hal, mereka tidak sudi didikte. Andy Bogel, 24 tahun, pemilik Distro Insomnia di Kemang, Jakarta Selatan, bilang: ”Setiap desain kaus atau baju maksimal kami buat dua lusin. Laku nggak laku, pokoknya segitu,” ujarnya kepada Tempo.
Filosofi do it yourself membuat anak-anak muda itu tak mudah terpikat oleh merek. ”Yang penting bukan merek, tapi gaya elo sendiri,” kata Aztri Wulandari, 19 tahun, mahasiswa Universitas Atmajaya, Yog-yakarta. Mengenakan baju bermerek, selain mahal, juga berisiko dikembari orang lain. Apatah lagi baju versi Mangga Dua. ”Itu baju sejuta umat. Nggak banget, deh,” kata Aztri. Walhasil, distro yang menjajakan segala macam kebutuhan anak muda—busana, musik, film, aksesori, majalah—menjadi alternatif segar.

Hobinomik pun mendapat tempat.
Ideologi gue banget juga membuat Jakarta bukan lagi kiblat tren anak muda. Sebagian besar responden riset Ogilvy, 62 persen, menyatakan sayonara kepada Jakarta sebagai pusat tren. Berkat televisi dan Internet, tren terbaru, baik yang arus utama (mainstream) maupun bawah tanah (underground) di London, New York, Milan, Tokyo, bisa diendus setiap saat.
Sayonara buat Jakarta membikin ciri khas lokal berkibar. Koleksi distro di Yogya, misalnya, desainnya lebih berani, warnanya lebih mencolok di-banding barang-barang keluaran Jakarta dan Bandung. ”Kami nggak mungkin merancang fashion ala distro di Bandung, yang sebagian besar orangnya berkulit kuning,” kata Aditya Dhenni, pemilik Distro Mail Box, Yogyakarta.
Di dunia indie, mereka merayakan keragaman.

Gustaff Iskandar, pengelola Bandung Center for Media Arts, berpendapat senada. ”Anak muda sekarang lebih menghargai perbedaan,” katanya. Mereka tumbuh dan mengalami dampak krisis ekonomi dan politik, 1998. Karya-karya beragam adalah jurus mereka untuk bertahan, survival. Meminjam istilah Gustaff, ”Mereka tidak terikat pada pakem konvensional.”
Alhasil, karya mereka tersedia bagi siapa saja. Yang gendut, buntet, langsing, hitam, kuning langsat, semua diberi tempat. Semacam ”antitesis” bagi industri fashion konvensional yang mengutamakan model ”kutilang darat”: kurus, tinggi, langsing, berdada rata.

Gustaff juga memandang anak muda sekarang punya ruang lebih untuk multi-identitas. Pagi jadi anak kuliahan, siang main di klub basket, malam ikut pengajian di musala. ’Dugem’ di klub malam pun bukan soal tabu. Kotak-kotak identitas menjadi lentur. ”Setiap orang menjadi individu yang unik dan berwarna,” Gustaff menambahkan.

Pada galibnya, mereka juga motor perubahan. Danny Satrio, redaktur majalah Hai, membenarkan bahwa anak muda abad ke-21 jauh lebih ekspresif dan percaya diri. ”Mereka nggak malu tampil, biarpun keahlian masih cethek,” kata Danny.

Para yunior ini, sebagian dari mereka adalah tulang punggung Generasi Indie, umumnya diperanakkan oleh ge-nerasi pascaperang. Orang tua mereka adalah saksi rezim pemerintahan Soeharto, yang menyeragamkan banyak segi kehidupan: sedikit berpikir melenceng dicap subversif. Taraf pendidikan dan ekonomi bertumbuh. Dan para senior tak sudi anak-cucu mereka tumbuh dalam kekangan. Walhasil, ”Mereka lebih demokratis, lebih santai, lebih longgar mengawasi anak-anak,” kata Darmanto Jatman, budayawan dan psikolog di Semarang, Jawa Tengah.

Aspek demografi dan budaya pop bisa digunakan untuk memotret perubahan karakter anak muda seperti yang dicontohkan Darmanto di atas. Diennaryati Tjokrosuprihartono, psikolog khusus remaja, di Jakarta, juga meyakini bahwa kepercayaan masyarakat membuat anak muda sekarang lebih kaya inisiatif dan percaya diri.

Diennar juga setuju bahwa anak muda era milenium lebih dinamis dan punya banyak pilihan menjalani hidup. Tapi, ”Tidak sedikit remaja yang terjerat narkoba, tawuran, seks bebas, dan bunuh diri,” katanya. Pendulum perubahan tidak melulu mengarah pada sisi cerah.
Remy Silado, pengelola Aktuil, majalah yang amat populer pada tahun 70-an, adalah salah satu saksi perubahan anak muda. Menurut Remy, sebelum tahun 60-an anak muda cenderung membebek tren luar negeri. Kiblat Amerika begitu kental hingga di zaman itu ada Gang Tangkiwood—meniru-niru Hollywood—di Jakarta Barat, tempat para seniman nongkrong. Grup-grup band ketika itu riuh menirukan gaya Beatles. A Riyanto manggung dengan berteriak ”ji, ro, lu, pat…auw..!”—terilhami pekikan John Lennon, ”one, two, three, four….auw…!”
Soal fashion juga tiru-tiru. Model baju diambil dari majalah yang dibeli kawan yang baru pulang dari luar negeri. Pernah pamor bintang film James Dean meroket dengan celana jins macho. Apa daya, di Bandung-Jakarta model begini belum beredar. Apa akal? ”Kami datang ke penjahit khusus, cari kain paling mirip, bikin celana jins,” kata Remy. Penyair Sutardji Chalzoum Bachri, kata Remy mengenang, waktu itu bangga sekali memakai jins van Bandung.
Lalu datang era 70-an dan 80-an. Iklim antikemapanan ala punk kencang bertiup. Grup band yang menomorsatukan disharmoni, seperti Velvet Underground dan The Sex Pistols, menjadi idola. Anak-anak muda mulai bergaya ngepunk dengan rambut jabrik—semangat yang masih terasa sampai kini. Beberapa pekan lalu sekelompok anak muda bergaya punk ditangkap polisi di Denpasar: mereka menyanyikan syair lagu yang menghina korps polisi.

Iklim tiru-meniru masih kental hingga dekade 1990 sampai sekarang. Tapi, hei, apa sih di dunia ini yang seratus persen orisinal? Menurut Dendy Darman, tren desain grafis terkini malah cut and paste. Ambil sedikit dari sini, gabungkan dengan itu. Beri bumbu kreativitas. Jebret…, jadilah gaya baru yang lebih segar.

Kiblat anak muda 90-an juga lebih luas. Grup F-4 dari Taiwan, manga (komik) Jepang, gaya hip-hop New York, band indie di London, kelompok punk di Jerman. Juga Yamasaki—klub olahraga ekstrem di kawasan urban Prancis. ”Maka, terjadilah demokratisasi gaya,” kata Danny Satrio. Vibrasi perubahan makin kuat oleh revolusi media. Teknologi penyiaran. Perangkat digital. Komputer dan Internet.

Bermodal beberapa puluh ribu perak, film pendek bisa dibikin—tentu dengan kamera pinjaman. Ini berbeda dengan tahun 70-an, kata Remy Silado, ketika anak muda bermimpi menjadi bintang film.

Pada 1995, stasiun televisi musik, MTV, melanda Indonesia. Jargon ”gue banget” yang diusung MTV pas betul dengan semangat muda. MTV rajin menayangkan klip video band indie yang tidak bernaung di bawah industri rekaman raksasa.

Dan… mampu membikin anak muda tergila-gila. Sheila on 7, Slank, Endank Sukamti, Superman Is Dead, semuanya sukses di panggung indie. ”Mereka menjadi ilham bagi anak-anak muda,” kata Danny Satrio.

Harus diakui, tidak gampang bersetia pada jalur indie. Ketika bendera sudah berkibar, orang mudah tergoda bergabung dengan selera pasar. Band indie berganti panggung mainstream, distro beralih ke factory outlet. Kekuatan pasar yang melibas komunitas indie bukan ceritera baru di jalur industri modern. Walau ada saja, seperti beberapa anak muda di gudang tentara itu, yang mencoba bertahan sedapat-dapatnya. Ini sepotong obrolan Tempo dengan Dendy di ruang pamernya di Jalan Citarum, dua pekan lalu:
+ Pernah mempertimbangkan alternatif produk massal untuk item-item baju terlaris?
- Tidak. Maksimal per desain 60 potong. Saya kan jualan attitude, bukan jualan baju.
+ Attitude siga kumaha, Kang. Yang bagaimana?
- Jadi diri sendiri! Nggak asyik kalau cuma membebek.

Saturday, October 07, 2006

International Young Design Entrepreneur 2006

Source: British Council



Event yang diadakan oleh British Council ini menarik, intinya adalah mengundang para entrepreneur kreatif muda untuk unjuk kontribusi terhadap society. Dalam kategori desain termasuk di antaranya adalah desain, arsitektur/interior, produk, advertising.

Short listed finalis adalah:

Ridwan Kamil (1971, architect) is Principal of Urbane, an architecture and urban design studio in Bandung serving international design clients in Bahrain, Hong Kong, San Francisco, and Singapore. His current project is the super-block Rasuna Epicentrum in Jakarta. Ridwan is the Indonesian winner of IYCEY Design Award 2006. He is currently developing his Good Design is Good Business project in partnership with the British Council.

Andi Surja Boediman (1970, graphic designer) pursued film and multimedia production at the New York Film Academy and the Academy of Art College, San Francisco, USA. Starting his career in 1995/96 as a 3-D animator and Art Director, he went on to establish the successful Digital Studio Workshop in Jakarta in 2000. He is currently member of the presidium of the Indonesian Professional Graphic Design Association (ADGI).

Arief Budiman (1975, graphic designer) is currently Managing Director of Petakumpet in Yogyakarta. A graduate of Visual Communication Design from the Indonesian Arts Institute, he started the advertising agency with college friends and two computers. The company has since developed from a small graphic design boutique into a full-fledged professional creative company with a staff of 28.

Deny Willy (1975, product designer) is Director of the Apikayu corporation, which brings together innovation from design schools with the skill and local-material knowledge of traditional artisans. In 2004 the Apikayu became a legal business entity through the support of the Young Entrepreneur Start-Up programme (YES). The firm provides training and marketing service for SMEs, developing natural materials once-considered waste into saleable contemporary furniture and handicraft products.

Djoko Hartanto (1972, graphic designer) is principal and publisher of the graphic design magazine Concept since 2003. He obtained a Master’s Degree from the University of Technology and an Advanced Diploma in Graphic Design from the Billy Blue School of Graphic Arts in Sydney, Australia. He has worked in a number of companies in Australia and Indonesia as Business Partner and Art Director.

Kusprianto Oky (1977, architect) graduated from the Technical Faculty of the Parahiyangan Catholic University. He is co-founder and Principal Architect at APTA and Studio Habitat in Bandung. His studio collaborates with Habitat for Humanity in providing well-designed house for the underprivileged. Kusprianto’s love of books and art drove him to establish the Rumah Buku --a cafĂ©, library and discussion space that also screens independent films.

Leonard Theosabrata (1977, product designer) is creator of the Accupunto line of chairs, which won Germany’s Red Dot Design Award (2003), Italy’s Well tech Award (2006) and was exhibited at the Museum of Science and Technology during the Milan Fair 2006. A graduate of the Arts Centre College of Design Pasadena, USA, he is the force behind the DForm forum of young product designers and architects.

Wahyu Aditya (1980, interactive design) is Founder, President Director, Teacher, Principal, Animator, and Creative Designer of Hello; Motion Corporation. Graduating from Sydney’s KvB Institute of Technology interactive multimedia and animation school, he went on to work as freelance comic illustrator and TV animator. His brainchild, the 8-monthly Hello; Fest educates schools and universities students about the art of motion picture.

Wisman Tjiardi (1974, interactive design) is Director of PT. Netpolitan that produces e-learning, multimedia, and portal development. A graduating of the University of Applied Science in Aachen, Germany, he honed his skills as web designer and creative head at leading German multimedia companies. One of his company’s innovative designs is the Character Library for Rapid e-Leaning Courseware Development.

Pemenang di tahun 2006 adalah mas Ridwan Kamil.

Saya sangat terinspirasi oleh semua orang yang menjadi finalis ini. Kita berkumpul, berkompetisi, tetapi saling belajar dan saling menginspirasi. Hasilnya adalah kita saling menjalin network dan berkolaborasi untuk mengerjakan proyek bersama-sama.

Tuesday, September 26, 2006

Budiman Boediman

Tulisan ini saya temukan melalui search di Internet. Menarik, karena menyangkut nama saya :)

_______________

Source: K.A.R.A


Bisa dibilang bahwa tokoh utama semester ini adalah Marketing! Bagaimana tidak? Dari 3 mata kuliah teori, ketiga-tiganya nggak jauh-jauh dari ngomongin Marketing. Di Tinjauan Desain Grafis (TDG), saya mendapatkan ilmu Through The Line (TTL), Below The Line (BTL), Above The Line (ATL),sampai Ambience Media. Di Perilaku Konsumen, tidak beda jauh. Sedikit banyak ada benang merahnya dengan TDG. Apalagi mata kuliah Manajemen Pemasaran. Amat sangat ada sangkut pautnya dengan marketing kan?

Semalam saya mendapat telepon dari Mbak di rumah. Ketika ditanya sedang apa, saya jawab saja belajar Marketing! Bisa ditebak, secara kompak saya dan Mbak Tita tertawa cekikikan. Duuhhh..gaya banget ya? Huhuhu..emang mudeng gitu?

Adalah Cakram, sebuah majalah periklanan,promosi dan kehumasan, yang menjadi buku belajar saya. Sebenarnya majalah ini sudah dibeli beberapa abad silam (apa iya?). Dan selama beberapa abad itu pula hanya menjadi penduduk pasif rak buku. Hanya tersentuh saat pertama kali membeli (mungkin). Satu hal yang paling saya suka dari majalah ini, dunia iklan. Pemenang adfest, lion cannes ad festival , saya dapat dari sini.

Dari Cakram juga saya mengetahui beberapa tokoh/praktisi/ahli/(pecinta?) dari dunia kreatif periklanan, promosi, humas dan sejenisnya. Masih dari Cakram, saya menjumpai 3 dari mereka yang masing-masing dari nama mereka mengandung unsur Budiman. Mereka yang saya maksud adalah Budiman Hakim, Arief Budiman dan Andi S. Boediman.

Kalau Bapak Budiman Hakim sedikit banyak saya sudah tahu. Beliau adalah salah satu pendiri MACS 909 Advertising Agency dan juga penulis buku periklanan berjudul "LANTURAN TAPI RELEVAN". Saya memberikan nilai empat plus untuk buku ini.

Lalu pertanyaan yang dibenak saya berikutnya ialah, Siapakah Arief Budiman dan Andi S. Boediman itu? Mari kita mencari jawabannya [melalui Cakram tentu saja].

Ternyata mereka berdua adalah finalis British Council International Entrepeneur of The Year Award 2006 . Arief Budiman ,seseorang dari Petak Umpet dan Arief S. Boediman ,seseorang dari Digital Studio.

Mereka bertiga adalah orang-orang dari dunia Kreatif!!

Tapi, kenapa semuanya berbau Budiman? Sayang sekali, nama saya tidak mengandung unsur Budiman.
Ini memang tidak ada hubungannya. Dunia kreatif dengan kesamaan unsur nama. Saya hanya ingin berbagi. Ternyata banyak sekali Budiman. Bisa tidak, mungkin tidak suatu saat nanti, akan ada unsur Sholihat di dunia 'itu' ? Semoga tidak hanya mimpi.

Oh iya, saya teringat sesuatu. Akhir-akhir ini iklan-iklan di TV kan berbau Puasa neh. Ada satu iklan minuman teh yang mengusung slogan, berbukalah dengan yang baik. Slogan, saya setuju. Tapi jujur, ada yang mengganggu saya. Kalau memang berbukalah dengan yang baik, berarti kita harus melakukan kegiataan berbuka secara baik juga kan? Di iklan itu, si model menggunakan tangan KIRI ketika meneguk minuman. Bukankah tangan KANAN lebih baik? [Hehehe..itu hanya pendapat saja.]

Selamat berpuasa!
Jangan lupa, berbukalah dengan yang dan secara baik. Heheheh..
Semangat ya, semua!!


Thursday, August 31, 2006

Sinetron Kampungan–Berdosa atau Berjasa!?

Dulu saya berpendapat bahwa kualitas animasi dan film Indonesia demikian buruk sehingga saya berpikir kok ada yang tega bikin seperti itu ya.

10 tahun yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa sekian persen materi program di TV harus lokal, para akademisi dan praktisi sibuk membuat seminar apa yang harus dilakukan, gimana solusinya, dll. Tetapi si Punjabi tidak pernah mengikuti seminar-seminar ini dan dia sibuk mulai produksi sinetron kacangan yang kemudian merajai seluruh TV Indonesia.

Ketika saya pergi ke Singapore dan ngobrol dengan satpam di NTU (ITBnya Spore), dia tau banyak tentang Indonesia, tentang presiden, tentang kehebohan, bencana, dll. Saya heran akan hal ini dan dia bilang bahwa dia bisa menerima TV Indonesia di rumahnya. Dia punya relationship dan kecintaan sendiri terhadap Indonesia karena program2 TV yang ia tonton.

Ketika kita melihat generasi muda saat ini, mereka ternyata dijajah oleh Amerika karena Hollywood, McDonalds & Starbucks. Mereka juga dijajah oleh Jepang dengan manga yg dicetak 1,5 jt kopi setiap bulan & anime yang ada 100 episode setiap minggu di TV. Mereka dijajah Korea dengan Ragnarok yang mereka mainkan setiap hari sepulang sekolah. Bentuk penjajahan yang lebih powerful adalah penjajahan media, bukan penjajahan fisik. Kita hidup sebagai penduduk dunia yang sangat dipengaruhi oleh budaya global.

Ketika saya berpikir untuk going global dan mencari apa yang bisa kita ekspor, saya melihat bahwa setiap negara yang mampu menangani ekspor selalu punya industri dalam negeri yang mampu sustain kebutuhan dalam negerinya. Hongkong sudah punya industri film dalam negeri sebelum mengekspor John Woo dan Jacky Chan. India juga punya industri film paling banyak penontonnya, bahkan memiliki digital cinema terbanyak di dunia, setiap nonton bisa 1000 orang. Mereka mampu memproduksi hingga 300 film setahun, lebih dari Hollywood yang sekitar 100 film.

Agar Indonesia mampu menjadi pemain dunia, bukan hanya produk dan craft yang bisa dijadikan andalan. Jangka panjang, ekspor media merupakan bagian dari pembentukan pop culture yang memastikan kita menjadi bagian dari global supply chain yang memiliki produk dan budaya yang unik dan mampu mewarnai dunia.

Ketika berkaca terhadap hal ini, apa yang kita miliki hari ini? Ternyata kita memiliki dangdut, kita memiliki sinetron, kita punya pengguna mobile phone salah satu terbesar di dunia, kita punya musik Padi dan Peter Pan.

Oleh karena itu ketika KDI sukses, saya bertanya kepada TPI, bagaimana dengan ekspor. Mereka jawab: Sudah! Ekspor ke Malaysia. Padahal, apakah kita pernah berbangga terhadap Dangdut ini? Bagaimana dengan Denpasar Moon?

Ketika budaya lokal mulai tergilas oleh media modern, program seperti Lenong Rumpi mampu menyeruak dan memberikan warna segar di televisi. Demikian pula halnya dengan Transvaganza. It's so Indonesia. And everybody love them.

Apakah saya bangga terhadap sinetron Indonesia? Tidak. Tapi apakah industri ini self sustain? Iya. Apakah bisa diekspor? Bisa banget! Kita sudah ekspor TKI, tentu kita bisa ekspor budaya Indonesia melalui TKI ini. Sinetron ini bisa laku diputar di Arab, Hongkong, dan negara manapun yang menyerap TKI paling banyak dari Indonesia. Ini adalah strategi grass root untuk mewarnai budaya dunia.

Tanpa segudang film sinetron kelas kampung seperti Jin dan Jun, bagaimana para pendatang baru di sinetron bisa latihan dan dibayar murah. Tanpa duit dari industri sinetron kelas bawah ini, tidak mungkin artis tersebut mendaki dan menjadi Bella Saphira yang bisa main di Mega Sinetron. Kenapa ada Mega Sinetron yang bertabur bintang? Karena seluruh jajaran tangga industri sudah lengkap. Ada pasar dari bawah hingga ke atas. Kita perlu ini. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Punjabi yang menghujani kita dengan sinetron kelas rendah ini karena dari dia pula ada Mega Sinetron, dan ada bintang, dan ada ekspor, dan ada budaya Indonesia yang mampu berbicara menjadi bagian dari budaya dunia.

Apakah kita sebagai generasi muda perlu meniru jalan ini? Saya yakin industrinya sudah terbentuk, oleh karena itu, kita yang lebih muda tinggal menikmati hasilnya, penonton sudah ada. Biarlah kita berkarya yang terbaik untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan sekedar sinetron kampung, tapi juga penghasil film bermutu. Kita tidak perlu mencela yang sudah ada. Kita malah harus berterima kasih. Tinggal kita yang harus membuktikan.

Mungkin bisa dengan menginternasionalkan Padi dan Peter Pan. Mungkin dengan membuat cerita Pandawa dan Kurawa dalam bentuk anime. Mungkin dengan membuat Dangdut Club yang sophisticated kayak Starbucks.

Sejuta kesempatan, biarlah waktu yang membuktikan!


That's my opinion,

Andi S. Boediman

Wednesday, August 30, 2006

IDE Awards @ Petasan Grafis


Moralitas Pers, Dolanpiade, Batik Illusion, Peranakan Idealis

Source: Imajineo

IDE AWARDS Ide Awards adalah kompetisi kreatif Mahasiswa dengan bingkai nasionalisme. Tujuan lomba ini sangat mulia, menggali kembali nasionalisme yang dikomunikasikan melalui ide-ide kreatif. Lomba ini dibagi tiga tema, yaitu:

  • Kemasan Makanan Tradisional Indonesia (eksplorasi kemasan dodol durian, tape ketan)
  • Acara/Event (promosi tari-tarian daerah, recital, gamelan);
  • Destination Branding (mengolah program komunikasi visual suatu tempat, seperti pantai, museum, wisata, tempat bersejarah) yang menarik di Indonesia.
Dan JAWARA nya adalah..
  • Dolanpiade, dari Digital Studio Jakarta (Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifky Zulkarnain, Welly Caslin).
  • Peranakan Idealis, dari Institut Kesenian Jakarta (Irvan Muaia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin AL Kaff, Muhammad Rizki Lazuardy).
  • Lurjuk, dari Universitas Petra Surabaya, (Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan)
  • Batik Illusion, dari Universitas Bina Nusantara, (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya Kartika, Natalia)
  • Moralitas Pers, dari Universitas Bina Nusantara, (Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia, Tafrian)
Publikasi pemenang dilakukan pada acara Petasan Grafis di Galeri Nasional yang dihadiri oleh Ibu Mari E. Pangestu.

Petasan Grafis Adgi



Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Adgi dengan Galeri Nasional berlangsung dari tanggal 16-30 Agustus 2006 dan dibuka secara resmi oleh Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu. Komponen pokok dari acara ini adalah “Ide Award 2006” sebuah kompetisi desain grafis yang menonjolkan sisi ke-Indonesiaan dari aspek kultur sosial, sejarah visual dan aspek rupa. Peserta terdiri dari 50 perguruan tinggi desain komunikasi visual di seluruh Indonesia.

Friday, August 18, 2006

Perang Harga!? No Way!

Strategi Industri melalui Teknologi dan Penciptaan Nilai
Bagian ke-2 dari tulisan Digital Printing

Teknologi sebagai Strategi

Munculnya teknologi baru selalu membawa perubahan pada peta industri. Teknologi desktop publishing mengizinkan banyak pemain baru terjun ke indutri desain dengan mudah. Digital camera melahirkan banyak fotografer muda yang bisa bersaing di kancah fotografi profesional. Lahirnya large format printing memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk terjun ke industri cetak.

Dalam hal ini teknologi membuat ajang permainan menjadi adil dan flat, karena pemain baru dan pemain lama bersama-sama berangkat dari titik awal. Ini seperti halnya handicap di dalam permainan golf. Oleh karena itu, dengan setiap perubahan teknologi, selalu muncul banyak pemain baru yang dapat menggeser posisi pemain lama.

Tetapi kondisi ini tidaklah berlangsung lama. Akan selalu muncul teknologi yang lebih baru dan lebih murah. Ketika teknologi menjadi komoditas, maka banyak faktor lain yang berperan. Sayangnya, kebanyakan pelaku industri selalu berbicara dengan harga sebagai satu-satunya solusi.


Penciptaan Nilai (Value Added)

Bagaimana kita memberikan nilai pada produk paritas seperti misalnya fotocopy dan cuci cetak foto? Mari kita belajar dari industri makanan dan minuman. Starbucks menjual kopi seharga puluhan ribu, padahal di warung mungkin hanya seribu rupiah. Banyak pelanggan menjadikan Starbucks sebagai meeting room dan ruang kerja dengan hanya secangkir kopi.

Melalui strategi lokasi kita meletakkan bisnis digital printing di area office building. Di sini kita tidak lagi berada di dalam bisnis digital printing, tetapi di dalam bisnis office solution. Kita bisa menawarkan beragam template proposal dan presentasi yang tinggal dipilih pelanggan. Harga premium bisa kita tawarkan sebagai solusi mendesain dan mencetak proposal yang menarik.

Banyak apotik dan laundry yang menyediakan jasa antar jemput. Bisa jadi strategi distribusi ini menjadi value added yang kita tawarkan pada digital printing. Jika komoditas yang berharga adalah waktu, mengapa belum ada perusahaan digital printing yang menggaransi ambil dan antar hasil cetak dalam 24 jam? Fedex menjadi salah satu perusahaan pengiriman terbesar di dunia dengan menjadikan overnight sebagai kata kunci. Domino Pizza menggaransi 15 menit pengiriman pizza atau gratis. Mungkin Anda bisa menggaji Spiderman untuk jaminan ini :-).

Jika desain seringkali menjadi jasa yang disediakan oleh digital printing sebagai keterpaksaan, mengapa tidak menjadikannya sebagai nilai tambah? Misalnya menawarkan paket pencetakan yang meliputi jasa desain sekian jam secara gratis dan file tetap disimpan oleh perusahaan digital printing untuk cetak berikutnya. Metode ini sudah digunakan oleh para fotografer wedding bertahun-tahun.

Masih banyak lagi cara-cara untuk memberikan nilai tambah. Kita bisa belajar dari berbagai industri lain.


Murah, Cepat, Bagus!

Semua pelanggan di dunia selalu berharap dari tiga hal ini: murah, cepat dan bagus. Tetapi sayangnya kita hanya bisa memberikan dua dari tiga. Satu-satunya cara untuk mendapatkan ketiganya adalah dengan ‘banyak.’ Dalam hal ini sudah tercapai economic of scale dan rutinitas produksi.

Prinsip Pareto mengatakan 80:20, yakni 80% pemasukan berasal dari 20% pelanggan. Oleh karena itu, privilege ini hanya kita tawarkan kepada pelanggan tetap yang sudah saling percaya dan melakukan pembelian secara rutin.


‘Tambah French Fries?’

Produk apa yang paling laku dan menguntungkan di restaurant? Nasi putih dan es teh. Tetapi apakah ada resto yang mempromosikannya? Hal ini karena keduanya merupakan komoditi dan fitur standar yang harus dimiliki setiap resto.

McDonald’s tidak pernah mempromosikan kentangnya, hanya burgernya. Pertanyaan paling menguntungkan yang mereka lontarkan kepada pelanggan yang membeli burger adalah ‘Tambah French Fries?’ Setelah menjual nilai tambah, kita perlu menawarkan kepada pelanggan berapa banyak produk komoditas yang mereka harapkan.

Foto kopi dan cetak foto merupakan contoh komoditas di industri digital printing. Pertanyaan yang lebih penting adalah nilai tambah apa yang bisa kita tawarkan kepada pelanggan? Waktu? Kualitas layanan? Lokasi? Jaminan keamanan? Solusi bisnis? Setelah itu barulah kita tawarkan produk komoditas sebagai layanan standar.

mySimon.com, sebuah situs yang memberikan komparasi harga produk membuktikan bahwa hanya 20% pelanggan yang memilih untuk membeli harga paling murah. Mayoritas pelanggan memilih membeli dari retailer yang mereka percaya meskipun harga lebih mahal. Dengan demikian, harga bukanlah satu-satunya strategi untuk berkubang di industri digital printing! Be creative! Be resourceful! Be entrepreneur!


*Artikel ini akan dipublikasikan pada Expre – Expo Preview FGD Expo

Terlibat atau Terlibas? Peluang Baru Industri Digital Printing

Bagian ke-1 dari tulisan Digital Printing

Kancah industri cetak belakangan ini menjadi marak dengan perkembangan teknologi digital printing. Mulai dari desain, fotografi hingga cetak kini sudah terhubung di dalam rangkaian proses digital.

Pergeseran teknologi selalu menciptakan peluang baru. Lahirnya digital photography memberikan jendela kesempatan bagi fotografer yang inovatif untuk memperkenalkan jasa ini dan mampu bersaing dengan pemain yang lebih senior. Lahirnya digital large format printing membuka peluang bagi pemain baru untuk terjun ke industri promosi yang sebelumnya hanya didominasi oleh billboard, spanduk dan baliho.


Desain dan Advertising

Bagi para desainer, pelaku dunia advertising dan marketing, teknologi digital printing mengizinkan untuk membuat desain dengan jumlah terbatas, seperti pembuatan undangan, menu, brosur untuk launching, dan banyak lagi.

Untuk pembuatan packaging, sertifikat dan label yang membutuhkan data variabel juga bisa dipenuhi oleh teknologi ini. Selain itu aplikasi proofing untuk memprediksi dan persetujuan klien juga dimungkinkan melalui akurasi dan konsistensi warna yang dihasilkan oleh digital printing.

Advertising belakangan ini mengalami masa sulit akibat munculnya media specialist. Banyak advertising agency yang beralih menjadi brand activation agency, di mana komunikasi disalurkan tidak lagi melalui media konvensional, tetapi melalui beragam titik sentuh. Salah satu medium yang bisa dimanfaatkan adalah direct marketing yang personalized, di mana kita bisa menjalankan mass customization untuk pelanggan.


Pracetak


Lahirnya CTP (computer to plate), digital proofing dan solusi Adobe Acrobat® ternyata memberikan dampak besar terhadap perkembangan dunia cetak dan pracetak. Beberapa perusahaan imagesetter telah meninggalkan produksi mesin ini. Nasib industri pracetak menjadi tanda tanya besar.

Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang bisa dipastikan bahwa jasa pracetak akan terlibas. Perusahaan pracetak perlu menemukan dirinya kembali. Salah satunya adalah dengan masuk ke industri digital printing.


Penerbitan


Saat ini jumlah judul buku yang diterbitkan makin bervariasi tetapi seringkali kebutuhan buku ini tidak dalam jumlah banyak. Kutukan 3000 adalah tantangan besar bagi penerbit karena buku harus dicetak dengan jumlah 3000 buah baru tercapai economic of scale. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teknologi digital printing untuk kebutuhan publikasi dalam jumlah terbatas. Beberapa contoh publikasi dalam jumlah terbatas ini adalah buku skripsi, modul pelatihan, riset marketing, proposal dan laporan. Selain itu juga buku untuk kebutuhan industri yang sempit misalnya kesehatan, teknis, dll.

Penerbit saat ini dihadapkan pada banyaknya buku yang tidak terjual hanya dihargai sebagai kertas bekas. Dengan teknologi on demand printing di mana pencetakan hanya dilakukan sebatas kebutuhan, maka teknik ini menjadi solusi saving cost yang sangat baik. Hampir 80% buku yang ada di dunia saat ini belum habis masa hak ciptanya tetapi sudah tidak beredar di pasaran karena jika harus dicetak ulang biaya minimum cetak sudah tidak sepadan. Sangat besar potensi pasar untuk revitalisasi isi buku melalui cetak on demand ini.


Percetakan

Persaingan yang amat tajam di industri percetakan sangat memberatkan bagi para pelaku industri. Beberapa metode yang dilakukan oleh pelaku industri cetak ini di antaranya adalah memilih pasar yang sempit dan banyak pula yang melakukan perang harga. Salah satu peluang yang terbuka lebar adalah melayani pasar yang lebih besar dengan digital printing.

Selain itu digital printing juga bisa dimanfaatkan sebagai teknologi proofing bagi klien sebelum pencetakan jumlah banyak dengan offset dijalankan.

Perubahan teknologi ini membuka kesempatan bagi percetakan untuk melayani pasar yang lebih luas karena dengan mengizinkan limit yang lebih kecil untuk jumlah cetak, tentu akan lebih banyak pelanggan yang tertarik untuk melakukan publikasi dan promosi.
Belum lagi dengan digital printing, down time mesin hampir tidak ada sehingga produktivitas bisa jauh lebih tinggi.


Fotocopy & Imaging

Harga dasar foto kopi dan digital printing sudah berimbang dan kualitas digital printing jauh di atas foto kopi. Dalam waktu tidak terlalu lama besar kemungkinan para pelaku industri foto kopi harus bergeser menggunakan teknologi digital printing. Teknologi foto kopi warna yang berkembang pesat di berbagai negara sudah dengan mudah direplikasi dengan hasil yang lebih baik oleh digital printing.

Dengan kemampuan direct to print, makin banyak perusahaan mempercayakan pencetakan dokumen ke supplier. Perusahaan besar seperti bank, telekomunikasi, consumer goods, dll saat ini sangat menekankan pentingnya training di mana semua modul training ini bisa disimpan secara digital dan dicetak bilamana perlu.

Digital Printing memberikan ruang gerak yang masih sangat luas bagi para pionir, pelaku bisnis dan entrepreneur yang memiliki visi bisnis yang tajam. Melalui digital printing, beberapa industri besar akan berevolusi dan terjadi konvergensi di berbagai bidang industri.

Masih terbuka luas peluang di industri digital printing. Ini adalah kesempatan emas untuk terlibat, bukan terlibas!

Andi S. Boediman
Sebagai entrepreneur, Andi mendirikan Digital Studio (www.digitalstudio.co.id)–sekolah computer graphics pertama di Indonesia dan Admire (www.admire.co.id)–integrated marketing communication dengan klien seperti Timezone dan Walls.


* Artikel dimuat di Expre – Expo Preview FGD Expo

Packaging Design. Silent Salesman No More!

An Insight Behind Packaging Design Strategy

Today market is cluttered with competing brands and media, marketers have to exploit all angles of a brand's experience with the consumer. Given the various media choices and market fragmentation, marketing tools are being reviewed, and more emphasis is being put on packaging.

Packaging has often been called the 'silent salesman'. Packaging can be the source of visual inspiration. Packaging is essential in creating the brand image that comes to mind when discussing a brand. So, it is time the silent salesman was silent no longer.


Packaging Design as Competitive Strategy

Once economic crisis hit throughout Asia, Indonesia is severely hit by this turmoil. The short-term side effect has been a temporary slowdown in domestic demand and economic growth. And a good business sentiment is needed to improve the market climate.

Some of the changes in consumer behavior when economic crisis happened is that everybody will have to lower their standard of living – for example, somebody who used to use liquid soaps will use bar soaps and somebody who used to use bar soap will use ‘sabun colek’.


With previous experience facing economic crisis in various country, Blue Band quickly anticipate this problem. Since the packaging cost is prohibitively expensive compare to the packaged goods, tin packaging will have to be changed to carton packaging.

The packaging should also act as a point of sales since in rural and remote area the product will be self-displayed in small kiosk as the main distribution point. People will buy margarine by weight instead of buying them in a package. A simple design solution is crafted using a longer flap for the top flange and put a graphic that is used as a self-display.

Unluckily, bakery expressed their concern since changing the package will affect margarine flavor as their utmost selling point.

Then the packaging design serves the purpose for keeping the brand competitive and self sustain during the economic crisis. Today Blue Band has retained its leadership as the leading brand in margarine.



Packaging Design as Storytelling

What makes multinational brands want to cater to market that has a very low per capita consumption. It means large untapped potential!

Indonesia has lower ice cream consumption than many other countries. In order to educate the market, Wall’s starting at the very early age. Through Paddle Pop, its flagship brand for kids, they build brand stature through various creative strategy, such as creating adventure story for Paddle Pop Lion mascot. Its rainbow colors and fun flavors are a hit! The Paddle Pop Lion is the friendly face of fun and adventure and this ice-cream rates the fastest selling and most popular ice-cream among school-going children.

Before the concept story unfold, it started with various possible direction. Packaging plays an important role to define the visual direction for the story. It is then adapted to various application such as point of sales, range card and other promotional items.

Through activities, media, promotion and packaging, Unilever engage 360° marketing strategy to create a personal experience for the consumer. In this case, packaging become one of the end vehicle to fulfill kid’s imagination in enhancing the experience.

Millward Brown was hired to evaluate the strategy and its effectiveness. This study then used as a base for the next year strategy.

Within the past 7 years, Wall’s compound annual growth in Indonesia has replaced Thailand as the brand development center. The packaging design was then adopted as the visual direction and inspiration for other countries, such as Thailand and Singapore.


Packaging Design as International Gateway

A cassava chip is a slim slice of a cassava deep fried or baked until crisp. This chips serve as an appetizer or snack. Commercial varieties are packaged for sale, usually in bags. The simplest chips are simply cooked and salted, but manufacturers can add a wide variety of seasonings. Cassava chip is considered an export commodity.

Kusuka is created as a strategy to optimize factory production cycle. Instead of using common distribution channel, this product is spread through Mum’s network because the factory won’t be able to commit the product continuous supply. This unique distribution methods quickly become ‘word of mouth’ strategy and people start looking for the product.

Conventional clear plastic packaging soon replaced by a new packaging design. A design study is conducted considering Kusuka will compete with other products on hypermarket shelves. Hypermarkets are becoming increasingly important for the consumer retail business. Also known as 'non-selling floors’, these environment allow consumers to browse unaided through rows of boxes, following a 'scan-and-choose' purchase procedure. This distribution model has intensified the packaging design role within a marketing strategy. Rather than merely protecting products, packaging, together with the supporting point of sale and retail solutions, has become the means to sell them, the 'silent salesman' that triggers consumers in their selection process.

The final design solution use combination of yellow and green to create a very appetizing look. Client’s favorite element is the use of the product photo from above. With the new design, consumer quickly identify Kusuka as the leading brand in cassava chip.

Even the big brand curiously and continuously watch this new player and before long, they started to copy the product. Some of the key feature that keep Kusuka as the leading brand is the product experience, unique distribution point and fresh look packaging design.

At the moment, Kusuka enjoys a high growth demand in local market and started become an export darling. It has just been introduced to Phillipines and distributed to various other countries through Alibaba.com, the leading global trader website.


Packaging Design as Brand Strategy

Trends towards healthier eating and an increasing interest in more organic products are the key reasons for the growth in fruit juice market. Healthy living is a growing trend and people just can't get enough of these kinds of products. It was then a commodity product and takes times to prepare. And consumers are demanding high quality premium products.

Based on this idea, Mama Roz brand is created. Starting with the name, it signifies the product is prepared by human being in a warm environment, freshly produce and prepared everyday to the consumer door. The identity gives a living brand personality. The use of warm color and stylized photo illustration engage an emotional relationship towards the brand promise.

One of the challenges in mixed juice is that they don’t blend very well. Therefore an opaque bottle is used surrounded by nicely designed label.

This key identity then defines the whole campaign, from packaging to advertising. Consistent look and feel communicates the brand promise in a credible and convincing way.

The future lies in an integration of harmonized solution media channels and communication. We are talking about marketing communications, point of sales materials, retail environments and packaging.

To create a complete brand experience, every single product communication activity will become an important tool within a total brand communications arsenal. The packaging could no longer be a silent salesman.

* This article will be published in international packaging magazine.

Andi S. Boediman is an award winning designer living in Jakarta – Indonesia. His design is awarded The Best Creative Graphic Design by IdN (International Design Network) and has been exhibited in Singapore, Hongkong, USA. His works has been published by PIE Books, Japan. He is the founder of Admire – Integrated Marketing Communication (www.admire.co.id), which serves international clients such as Unilever, Timezone and many others.

Tuesday, July 11, 2006

Hobbynomics, Creative Industry @ Tempo

Source:
Tempo Magazine
No. 45/VI
July 11 - 17, 2006

Stifling Creativity

Several countries are triggering the development of their respective creative industries. The government however is still dilly-dallying.

IN a European-style "castle," hundreds of young people are thinking and working hard in front of computer screens. With their skilled hands, several animated films have been created and these have already penetrated the US and European markets. Two of these hard-working young people have even been rewarded with international prizes.

Carlos Adventure was named the best animated children's film serial at the International Animation Festival in Tenerife, Spain, in 2002. Another film, Jim Elliot Story, received a Golden Remy Award in the 2006 international film festival film in Houston, Texas, USA.

Perhaps you will find it hard to believe that these two films were not created by film kings in America or Europe, but rather by the hands of two creative young people aged between 20 and 30. They only work in a five-floor ruko (shop-house) in the Pasar Baru area of Jakarta, which is better known as a shopping center for textiles and shoes.

This is where Castle Production, which was set up in 1998, has its headquarters. According to Ardian Elkana-both owner and head of this animation studio, the largest in all of Indonesia-in the period of a year, Castle produces 13 episodes of 2D animated films and 13 episodes of 3D animated films. For the past six years, all of these films have been exported and financed by foreign institutions.

Financing has come from several European countries, such as Spain, France, England, Germany and Switzerland. The producers and scriptwriters come from America. "There's no one domestically who is capable of covering the costs involved," said Ardian, who has a Master of Business Administration degree from the University of Chicago, USA. This is easy to understand, bearing in mind that the tariff level per episode is US$40,000 (around Rp370 million).

This tariff is in fact quite small when compared to the level of tariffs of US animation giant, Disney, which reach some US$300,000. But, due to the fact that the tariff is low, Indonesia is attracting the attention of financiers who have started to move their orders from Korea and Taiwan-which are already considered to be too expensive-to India, China or the Philippines.

Unfortunately, Indonesia is not able of making the greatest use of this unexpected opportunity. One of the obstacles is the limited amount of qualified human resources in the animation sector. Compare this with the situation in India. There, at least 400 animators work in the country's largest animation company. Not surprisingly therefore, hundreds of animated films can be created and supplied every year to MGM, Disney or even Universal.

There are also vast opportunities for Indonesia's creative industry in the multimedia and graphic design sectors. PT Elasitas, which was set up by Calvin Kizana, 32, certainly showed this by creating the website for Nokia, the cellular telephone company from Finland.

The design of the Nokia bookmark created by this programmer, who has worked in both Singapore and the US, has already been translated into 17 languages and is now used in a total of 35 countries. Because of this success, the company has continued to develop. Whereas at the start, it only had one computer and one employee, there are now already 60 workers.

Another source of wealth is its product package-design capability. In this sector, Indonesia's performance has actually been very encouraging. Proof of this can be seen in the fact the packaging design for Wall's Ice Cream created by PT AdMire has been exported to Thailand. As regards price, the owner of AdMire, Andi S. Boediman, acknowledged that the cost of product and packaging design in Indonesia is far cheaper than the cost of services offered by foreign design companies. In Indonesia, one piece of design work is only worth between Rp10 million and Rp25 million, while for the design of one Blue Band margarine
can in England, the tariff reached Rp800 million.

Andre, who is Chairman of the Digital Graphics Forum, has also pointed out that Indonesia needs to clean house as soon as possible in order that it will be
able eventually be capable of competing within the global creative industry. This is because, according to the creator of the first animated logo for the Seputar Indonesia program on the RCTI television station 10 years ago, "Compared with Thailand and Malaysia alone, we are already five to 10 years behind."

THE creative industry, which is based on creativity, expertise and individual skill, has the potential to bring in prosperity and more new jobs. From the results of mapping carried out in England, starting from 1998, it is known that this industry can be regarded as the fastest growing.

In 2002, this sector, which is based on intellectual property rights, contributed 7.9 percent of England's gross domestic product (GDP). During the 1997-2000 period, this sector grew at an average rate of 9 percent per year-far above England's average economic growth rate of only 2.8 percent. Every year, this sector provides new jobs for more than 1.9 million people.

According to Andi, this is the fourth stage in the economic development of a nation, after going through economic periods based on agriculture, industry and information. In England, there are 13 sectors in this industry category. They include advertising, architecture, design, film, music, the performing arts, television and radio, plus computer services and software.

In terms of development, the growth of the creative industry has been truly astonishing. Just consider the market value of IBM, Intel and Microsoft. Together, they are worth 2.3 times more than the automotive industry. Consider also film giant Disney, whose corporate value has grown from US$2 billion to US$22 billion in a space of only 10 years.

It's even more amazing when one looks at the economic potential that can be produced by the global games industry. The market value by 2004 alone had already reached US$20 billion (approximately Rp186 trillion). Even more fantastic is that this was achieved in a period of only 20 years-growth that was more than three times faster than that achieved by the Hollywood film industry.

This rapid growth of the games industry was a true blessing for Europe. From payments for downloads alone, it is estimated that this region will earn approximately US$2 billion (around Rp18.6 trillion) in 2007, with an annual growth rate of 25 percent.

Several countries in Asia are also active in the development of their respective information and digital industries. These include India, Japan, Korea,
Hong Kong and Taiwan, and all have very bright futures. In India, for example, last year the animation industry had already earned a total of US$1.5 billion
(approximately Rp14 trillion), and will experience annual growth in the region of 30 percent. In addition, there are the proceeds from between 700 and 800
films that are produced every year.

Aware of this huge future potential, Singapore continues to organize. The city-state has presented a program planned to develop a creative industrial
center, which is referred to as a creative cluster. The three creative industry clusters to be developed include media (the Media 21 cluster), design (the Design Singapore cluster) plus arts and culture (the Renaissance City cluster).

Through this program, the economic base of Singapore will move from an information economy to a creative economy, by blending together technological creativity, economic creativity and creativity encompassing arts and culture. The target is for the contribution from the creative industry to Singapore's GDP to rise from its current level of 3 percent to between 6 and 7 percent by the year 2012. "The wish of Singapore is to become what it calls the Renaissance City, which will eventually be the center of modern Asia," said Linda Hoemar Abidin, Chairperson of the Administration Board of the Kelola Foundation.

So what does the future hold for Indonesia? Apparently the country's creative industry has not yet received sufficient serious attention from the government. "Until now, bureaucrats have only paid any attention to anything that has an economic source base," said business observer Kafi Kurnia. In fact, the vast creative potential that is possessed by Indonesia could produce added value for the economy.

Just consider the potential of the batik, furniture, painting and sculpture companies stretching across the islands of Java and Bali. Up to now, many people's companies are in suspended animation but they keep going. As a result, the added value created by many is now being enjoyed by foreign companies. As an example, Kafi pointed out that in a boutique in Las Vegas, USA, a single kebaya (traditional blouse) from Indonesia is for sale with a price tag of some Rp200 million!

In economic terms, the contribution from the film industry can also be said not to be that small. Many people have jobs in the production process of domestic films, of which last year a total of 50 were produced. And remember, the government has earned its share form these as well. How? Because approximately 20 percent of the proceeds of cinema ticket sales have to be paid in taxes.

This means that from one film alone, for example Ada Apa dengan Cinta, which earned somewhere around Rp24 billion, approximately Rp5 billion found its way into the state's coffers. "Half of this was absorbed by the regions," said Mira Lesmana, producer. "Regional governments are not however aware of this."

Based on this state of affairs, the British Council has started to collect data on Indonesia's creative industry. From this, according to Yudhi Soerjoatmodjo, Art Manager of the British Council, "We will end up knowing just how important its contribution is to the Indonesian economy." -- Metta Dharmasaputra

Monday, May 15, 2006

Separuh Nafas Industri Animasi Lokal

Source: http://aergot.wordpress.com/2008/02/21/separuh-nafas-industri-animasi-lokal/

Posted by algooth putranto on February 21, 2008

Dalam bisnis hiburan, animasi adalah tambang duit yang menjanjikan. Tidak hanya untuk industri layar lebar tapi juga layar kaya. Lihat saja saat pasar heboh dengan dua berita besar seputar akuisisi Dreamworks SKG dan Pixar.

Tercatat untuk mendapat sebagian saham Dreamworks SKG milik Steven Spielberg, George Soros harus merogoh duit hingga US$1,6 miliar. Sedang Walt Disney harus mengelontorkan dana senilai US$7,4 miliar untuk mengakusisi Pixar milik Steve Jobs.

Dreamworks SKG adalah pembuat film Antz, Shrek dan Shrek II yang luar biasa berhasil. Sedangkan Pixar memproduksi Toy Story, Finding Nemo dan The Incredibles yang sukses besar.

Uang yang berputar di industri ini mencapai ratusan juta dolar. Situs boxofficemojo.com menyebutkan film animasi buatan Disney tahun 1937, White Snow and Seven Dwarfs dengan modal US$1,5 juta bisa meraup untung sampai US$186 juta.

Bandingkan dengan animasi buatan Dreamworks SKG atau Pixar yang bisa meraup pendapatan antara US$230 juta hingga US$921 juta.

Ini belum termasuk kekuatan lain seperti Warner Bros dengan Pokemon, Fox dengan Ice Age dan kekuatan tradisional di luar AS seperti Eropa dan Jepang. Dan kekuatan baru seperti China, Korea dan India.

Lalu bagaimana Indonesia? Jawabannya bisa ditebak. Sejak lama Indonesia kondang hanya sebagai gudang tukang di industri film animasi Jepang dan AS.

Data Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia) mencatat nama-nama gudang animator Indonesia a.l Frozzty Entertainment, Tunas Pakar Integraha, Castle Production, Mirage, Pustaka Lebah, Jogjakartun, Mrico, Animad Studio, Jelly Fish, Bulakartun, Griya Studio, Bening Studio, Studio Kasatmata, Asiana Wang Animation, Bintang Jenaka Cartoon Film, Red Rocket, Infinity Frameworks dll.

Tak sedikit diantara banyak nama itu yang kini sudah tutup setelah mengeluarkan karya perdana mereka. Tetapi setidaknya tahun lalu masih sempat muncul serial animasi televisi, Sega Nusantara karya Mahaka Visual Indonesia yang diganjar ABU CASBAA Unicef Child Right Award 2005.

Sebelumnya juga muncul film animasi tiga dimensi layar lebar Homeland hasil kerjasama Visi Anak Bangsa dan Studio Kasatmata. Lalu gelar art director terbaik festifal film animasi Korea Selatan untuk film Cindelaras karya Bening Studio.

“Masalah utama dari industri animasi kita adalah distribusi. Dengan kata lain industri animasi kita belum sepenuhnya mendapat komitmen penuh dari pebisnis lokal seperti televisi dan layar lebar,” ujar Presdir Digital Studio, Andi S. Boediman.

Selain itu, menurut penulis buku Photoshop Master Class, Photoshop Special F/X dan Color Finder itu pelaku industri film lokal kurang memiliki kemampuan membaca peluang pemasaran.

Satu contoh harga serial animasi legendaris Doraemon, dengan durasi 24 menit dihargai US$1.000 per episode. Anda bisa hitung berapa uang yang diterima produsen film tersebut sejak film ini diputar di RCTI sejak tahun 1990.

Hal senada diungkapkan desainer grafis dan animator senior, Tutu alias AG Airlangga yang bercermin pada kurang berhasilnya film animasi-konvensional Janus: Prajurit Terakhir yang disutradarai Chandra S Endroputro.

“Saat itu, para jagoan animasi kita gagal memenuhi tenggat waktu dari jaringan bioskop Studio 21. Akibatnya Janus diputar harus bersamaan dengan Finding Nemo. Tahu sendiri bagaimana,” ujar alumnus desain grafis ITB itu.

Finding Nemo adalah film animasi buatan Pixar yang berkisah tentang ikan badut. Film berbiaya produksi US$40 juta ini adalah animasi paling rumit yang dikerjakan anak usaha Apple Inc. Dari seluruh dunia, Nemo berhasil meraup pendapatan hingga US$865 juta.

Selain itu, lanjut seniman grafiti itu, penyandang dana di dalam negeri masih seringkali ngeri melihat dana produksi film animasi yang super mahal dibanding dana untuk membuat film dengan bintang manusia.

Pada sisi lain, ganasnya pembajakan peranti lunak di dalam negeri sebetulnya mmberi keuntungan dibanding kawan-kawan mereka di luar negeri. Boleh disebut keuntungan sekaligus kerugian.

“Diakui atau tidak banyak anak desain termasuk saya yang kenal software animasi dari produk bajakan. Kerugiannya produk animasi lokal kita juga rentan dibajak,“ujar Aji Bekti, Art Director PT Dentsu Indonesia.

Kurang dihargai

Dibandingkan Jakarta, industri ini justru berkembang di daerah. Sebut saja almarhum PT Marsha Juwita dan PT Atelier Karo di Bali yang sejak lama mengerjakan gambar antara (in between) dan gambar latar (back ground) film Doraemon dan Candy-Candy.

Meski di Jakarta ada banyak studio mapan seperti Bintang Jenaka Cartoon Film, Asiana Wang Animation hingga Mahaka Visual Indonesia. Namun gebrakan animasi nasional justru lagi-lagi dimulai di daerah.

Sebut saja saat Red Rocket Animation, Bandung memproduksi serial film fabel Cerita Aku dan Kau hasil kerjasama dengan PT Nestle Indonesia.

Selain film animasi, mereka juga memproduksi banyak iklan animasi hingga filler pergantian acara di Trans TV, Metro TV dan Seputar Indonesia RCTI.

“Kami juga memproduksi film Pok! Pok! Pok! untuk Malaysia tahun 2001 dan sempat dipercaya mengerjakan order iklan dari AS,” kata Risty A. Maskun, produser utama Red Rocket Animation.

Selain Red Rockets, ada unit animasi Manajemen Qolbu (MQ) TV pimpinan Dudung Abdul Gani. Perusahaan yang berdiri tiga tahun lalu itu telah menghasilkan film animasi Jang MQ dan Rai Raka.

Film kartun anak Islami ini selain tayang di MQTV juga muncul TV7 dan Lativi selama masa Ramadhan.

Sayang meski diakui banyak pihak produk animasi lokal mengagumkan, nasib produksi animasi Indonesia umumnya menyedihkan. Pasalnya, hasil karya lokal tak dihargai dengan layak.

“Orang kita masih belum berpikir kalau produk animasi itu paduan seni dan teknologi. Ada proses kreatif yang harus dihargai dengan wajar,” ujar AG Airlangga dari Splat! dan Animagic, yang menggarap iklan animasi Kondom Fiesta.

Senada dengan AG, Risty menyebutkan klien Indonesia lebih percaya untuk membayar lebih mahal pada perusahaan luar negeri dibanding ke perusahaan lokal. “Animasi asing paling hanya 20%-30% tapi uang yang mereka dapat ratusan kali lipat dari yang kami terima.” .

Tentu saja hal itu berimbas pada pendapatan yang diperoleh animator lokal. Pimpinan MQTV Dudung Abdul Gani membandingkan pendapatan animator lokal dan Singapura.

Dengan kualitas kerja yang sama, animator lokal hanya dihargai antara Rp900.000 hingga Rp2,5 juta/bulan bandingkan dengan gaji animator asal Singapura yang mencapai Rp25 juta/bulan.

Kondisi ini makin diperparah akibat praktik ‘pelacuran’ alias banting harga gila-gilaan produk animasi yang dilakukan oleh perorangan di bawah harga standar yang dibuat perusahaan animasi.

AG Airlangga memberi gambaran untuk pembuatan iklan animasi Kondom Fiesta versi bunglon yang berdurasi 15 detik dibutuhkan dana Rp2 juta per detik. “Sekilas mahal. Tapi untuk bikinnya. Susah!”

Risty menambahkan, untuk membuat satu detik gambar gerak dibutuhkan sedikitnya 25 gambar, animator kadang harus tidak tidur selama dua malam bila sedang menggarap proyeknya.

“Sebenarnya saya senang kalau makin banyak orang Indonesia jago animasi, terbukti kualitas karya perusahaan dengan individu tidak jauh beda. Tapi ya, jangan jatuhkan harga gila-gilaan. Bersaing sehat lah,” ujarnya.

Kondisi ini langsung dirasakan industri animasi di Yogyakarta seperti Studio Bening, Studio Urek-Urek, Studio Kasatmata dan Studio Jutahira yang turun hampir 90%.

Menurut Risty hal itu karena industri animasi seolah ayam tak berinduk. Sejak awal tidak ada instansi yang menaungi sekalipun pemerintah tahu nilai ekonomi di dalamnya cukup tinggi.

Bandingkan perlakuan pemerintah China dan India yang mewajibkan agar perbankan memberi pinjaman tanpa agunan dan bebas bunga pada perusahaan animasi. Kalau terus begini mimpi kejayaan industri animasi Indonesia rasanya makin jauh saja.