Monday, June 03, 2002

Dekonstruksi Kurikulum DKV discussion

posted at Creative Circle mailing list

Sumbo Tinarbuko
Dominasi KURNAS harus mulai dipangkas dan lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual.

Andi S. Boediman
Setuju banget. Mungkin jika ada standar, ini hanyalah mata pelajaran inti, misalnya tipografi, computer graphic. Dan ini menggantikan IBD, ISD, Pancasila, dan pelajaran maha ajaib lainnya.

Sumbo Tinarbuko
Kemudian anggota konsorsium seni dan desain (yang konon merupakan institusi penentu kebijakan terkait dengan pendidikan tinggi seni dan desain) perlu ditambah dengan dewan pakar yang benar-benar mengerti, memahami dan mengetahui perkembangan DKV. Personil dewan pakar diambil dari dosen dan praktisi dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan DKV.

Andi S. Boediman
Saya baru denger ada konsorsium semacam ini. Daripada melakukan restrukturisasi dari organisasi yang susah dijangkau, mungkin lebih baik para akademisi dan praktisi berkumpul untuk menyusun/mempresentasikan apa yang sudah dihasilkan hingga saat ini dan kemudian menjadi wacana bagi semua sekolah lain.

Sumbo Tinarbuko
Sistem rekrutmen dosen harus terjaga kualitas dan wibawanya. tidak asal comot. Demikian pula sistem penerimaan mahasiswa baru di lingkungan perguruan tinggi DKV tidak waton banyak. Ini menjadi tidak efektif dalam proses belajar mengajar. Saya pernah mengajar matakuliah DKV I disebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 orang untuk setiap klasnya. Jelas jumlah sebesar itu menjadi tidak efektif dan sulit terjadi proses dialogis antara pihak dosen dengan mahasiswa. Saya tidak tahu bagaimana di UNTAR, BINUS, Pelita Harapan, Paramadina Mulya ....

Andi S. Boediman
Dari sisi bisnis, ini memang sulit. Jika kita mematok bahwa di kelas paling banyak 15 orang misalnya, maka pendapatan sekolah mungkin cukup berat dari sisi pengadaan fasilitas. Atau jika siswa memang hanya dipangkas dalam jumlah sedikit, maka terpaksa biaya pendidikan meningkat.

Oleh karena itu sekolah memiliki positioningnya sendiri saat ini. Untuk mainstream, universitas tetap menjadi pilihan utama. Ini bukan cuma sekedar kualitas tetapi lebih kepada kebutuhan untuk mendapatkan gelar. Bermunculnya beberapa sekolah dengan model singkat merupakan alternatif bagi mereka yang melakukan pendekatan politeknik.

Problem math equation demikian, sekolah bagus, jumlah murid sedikit, kurikulum progresif, fasilitas lengkap, pembimbang semua dari kalangan praktisi, maka terpaksa harganya mahal. Untuk menyiasatinya, satu-satunya cara adalah meletakkan murid sebanyak-banyaknya dalam satu kelas karena variabel ini yang paling gampang diatur :)

Berikutnya, pihak industri dituntut peran aktifnya untuk membantu pihak perguruan tinggi DKV dengan misalnya secara berkala memberikan pencerahan terkait dengan pembuatan perancangan konsep kreatif, perencanaan media dll.

Sumbo Tinarbuko
Selain itu saya mengusulkan agar industri periklanan ranking Top Ten menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dikumpulkan menjadi Advertising Foundation guna diberikan kepada insan periklanan muda, dosen

Andi S. Boediman
Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Ada baiknya dibentuk foundation tersebut dibentuk oleh sekolah, praktisi dan vendor. Saya tidak setuju dengan model menodong/meminta-minta kepada salah satu pihak. Ini haruslah merupakan suatu program bersama yang dibuat dengan visi yang benar, didanai bersama dan dimanfaatkan bersama.

Sumbo Tinarbuko
Selain memberikan beasiswa kepada insan periklanan dan dosen desain komunikasi visual/periklanan, Advertising Foundation ini juga mencetak CD yang berisi pemenang lomba iklan (Citra Pariwara) di Indonesia dan di luar Indonesia berikut konsepnya untuk diberikan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan desain komunikasi visual dan periklanan agar perkembangan tersebut bisa disikapi dan diadaptasi di lembaga pendidikan tersebut.

Andi S. Boediman
Produksi CDnya sih bisa menjadi satu profit center yang dananya malah bisa digunakan sebagai funding untuk edukasi ke lingkungan akademis. Saya yakin produksi CD semacam ini banyak diminati siswa, apalagi kita minta kepada mahasiswa untuk menghargai karya cipta kita sendiri dengan membeli dengan harga pantas, bukan membajak :)

Sumbo Tinarbuko
Saya bawakan data visual berupa iklan bank Mandiri dan iklan kartu Hallo. Mahasiswa saya minta me-redesign iklan tersebut dengan pendekatan gaya futurisme, bauhaus, konstruktivisme dan beggarstaff. Hasilnya didiskusikan, dan dipresentasikan. Hasil yang dicapai: mahasiswa mengetahui perkembangan sejarah desain grafis dan penerapan berbagai isme desain grafis itu dalam konteks kekinian

Andi S. Boediman
Ide-idenya bagus. Saya melihat konteks serupa diaplikasikan di School of Visual Arts - New York. Siswa diminta mendesain gerbong kereta api yang bisa menunjukkan Warhol, Picasso, Madonna, dll, a la iklan Absolut Vodka. Hasilnya spektakuler.

Saya pikir terobosan kurikulum semacam ini perlu direkam dalam bentuk buku atau online sehingga menjadi satu wacana yang bisa diadaptasi dan diaplikasikan oleh sekolah-sekolah lain.

Sumbo Tinarbuko
Justru Mas Adit (UNTAR) dan kawan-kawan perguruan tinggi desain dari Jakarta: BINUS, Paramadina Mulya, InterStudy DKV S-1, IKJ, Pelita Harapan plus shortcourse desain komunikasi visual yang lebih tepat menjadi penyelenggara. Saya akan dengan senang hati membantu.

Andi S. Boediman
Mungkin sedikit berbeda dengan di Yogya yang lebih 'guyub'. Di Jakarta masih sulit untuk menjalin komunikasi antar 'petinggi' sekolah. Saya juga ingin menjalin suatu forum bersama di mana masing-masing dari kita bisa mempresentasikan hasil pencapaian kita selama ini, baik dari kurikulum, terobosan-terobosan baru, menjalin kerjasama, dll, seperti laiknya Siggraph di Amrik.

Sunday, June 02, 2002

Pendidikan & Industri

posted at Creative Circle mailing list

Q: Kami sangat khawatir bhw mhs. kami mendapat terlalu banyak teori, terlalu banyak mata kuliah sejarah (sejarah seni rupa indo. sej. kebudayaan indo. ilmu budaya dasar) titipan depdiknas, namun di lapangan tidak bisa apa-apa. Tapi saya terus terang masih kabur: dimana tepatnya gap itu terjadi. Saya berpikir mungkin sudah waktunya kuliah kerja praktek waktunya diperpanjang sehingga jadi fifty-fifty dengan kuliah di kampus? Ini baru ide liar saja. Karena bagaimanapun saya yakin learning by doing itu sangat banyak manfaatnya. Katanya sekolah-sekolah tinggi teknik di jerman banyak mengunakan metode itu, entah betul atau enggak.

A: Metode sekolah dan bekerja saya lihat diterapkan di Canada. Jika di Amrik, biasanya dibuat dalam bentuk internship atau magang dan durasinya hanya 6 bulan.

Jika melihat materi sejarah, bukan kurikulumnya saja yang salah tetapi penyampaian dan batasan materinya. Materi sejarah tidak diperlukan jika seseorang hanya perlu terjun sebagai seorang junior desainer misalnya, tetapi dengan target DKV S1 yang mempersiapkan siswa terjun sebagai ahli madya, sejarah mutlak diperlukan. Masalahnya sejarah yang diberikan tidak relevan dengan kebutuhan industri. Materinya mungkin bisa sejarah tipografi, sejarah desain grafis dan sejarah advertising, bukan sejarah seni rupa, ibd, isd, dll. Yang paling problem menurut saya adalah cara penyampaian. Penyampaian saat ini adalah dosen 'memberitahu' dan menyuruh siswa 'menghafalkan' sejarah.

Sebagai seorang sarjana, bukan 'what' yang kita perlu kita pelajari, tapi 'why'. Bukan hafalannya, tetapi alasan dan impact dari sejarah tersebut. Meminjam dari fisika, bukan tahu definisinya, tapi tahu relationshipnya. Ini membutuhkan pemikiran kritis yang tidak bisa didapatkan dari lecture satu arah. Siswa perlu didorong untuk mengevaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Bukan dosen bilang bahwa kita harus mengikuti panduan pendapat salah satu buku. Tugas dosen adalah katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi/sudut pandang lain.

Sebagai seorang mahasiswa, saya hanya bisa membaca mungkin 1-2 buku saat studi per semester (akibat cukup banyak tugas). Sekarang saya bisa membaca sedikitnya 1-2 buku per bulan. Tentu wawasan dan perspektif kita makin terbuka. Taufik Ismail sangat concern dengan hal ini dan ia kini sedang mempromosikan agar siswa menengah paling tidak harus membaca buku lebih banyak. Apakah ini kita pernah terapkan di dunia komunikasi visual? Apakah membahas content, membuat resensi dan mengevaluasi sudut pandang orang lain telah menjadi bagian dari pengajaran? Berapa buku yang dibaca oleh dosen? Berapa yang dibaca oleh siswa?

Model pendidikan terbaik tentu adalah model 'apprentice', di mana 'guru kencing berdiri' dan 'murid kencing berlari', 'monkey see monkey do'. Inget Star Wars? Model Obiwan Kenobi mengajarkan ilmunya kepada Luke Skywalker. Pertanyaan berikutnya adalah apakah seluruh pengajar sudah memiliki pengalaman dan wawasan yang cukup. Apakah sekolah sudah memiliki environment yang benar?

Seperti halnya Bauhaus, sekolah merupakan 'living laboratory' bukan tempat 'belajar teori'. Siswa didorong untuk bereksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya. Saya belum pernah melihat ada sekolah yang bisa menghasilkan output wacana (teori, buku, eksplorasi, percobaan, dll) yang demikian impactful terhadap perkembangan seni dunia. Bauhaus sendiri merupakan sekolah yang memberontak terhadap model pendidikan konvensional. Bauhaus ditutup oleh Hitler karena dianggap terlalu idealis dan membahayakan.

Jika kita mau memperoleh skill estetis dan komunikasi yang baik, seharusnya lebih berorientasi ke tipografi ketimbang fine art. Pelajaran rupa dasar tidak diperlukan di sekolah desain komunikasi visual. Semua temuan dari Bauhaus tercatat dengan rapi di berbagai buku, mulai dari tugas, eksperimen, kesimpulan, dll. Tapi kita di Indonesia mencoba 'reinvent the wheel'.

Kurikulum kita telah berumur 20 tahun dan tanpa pernah ada satu perubahan, padahal dunia komunikasi visual telah banyak memiliki medium baru yang membutuhkan language baru, vocabulary baru, technical knowledge baru. Kurikulum seharusnya dianalisa dan diperbarui paling tidak setahun sekali, meskipun minor. Ini yang saya alami di sekolah saya dulu. Tiap tahun ada pelajaran yang dibuang atau ditambah meskipun sifatnya minor. Paling tidak
siswa akan siap dan nggak obsolete saat ia lulus.

Q: satu hal lagi: kini banyak program studi dkv (seperti dkv untar) bertebaran. tentu saja alasannya "just duit". Namun masalahnya kami tidak membuka program studi fine art (seni murni)yang bisa mengajarkan kepekaan estetik dan kreativitas secara intensif. sehingga mhs dkv yang kurang kreativitas dan kepekaan estetiknya, hanya jadi mahasiswa dkv yang teoritik.

A: Saya tidak terlalu setuju dengan pendapat ini. Dasar pendidikan desain komunikasi visual di Indonesia memang awalnya dibentuk dan disusun oleh orang-orang yang punya latar belakang fine art sehingga ini pun terbaca dari outputnya. Ada sekolah-sekolah yang cenderung menciptakan siswa yang kuat di teori misalnya ITB sehingga mereka cocok untuk terjun ke dunia advertising yang membutuhkan banyak proses berpikir konseptual. Ada pula sekolah yang banyak mendidik 'rasa' atau kepekaan estetik seperti halnya IKJ dan Trisakti sehingga mereka cocok untuk terjun sebagai graphic desainer/seniman.

Latar belakang fine art akan mendidik siswa memiliki 'kepekaan' terhadap visual. Tetapi jika ditilik dari latar belakang graphic design, Indonesia sangat berbeda dengan Eropa. Graphic Design berawal dari tipografi, bukan fine art, yang sudah lahir sejak Gutenberg. Di Eropa dan Amerika, tipografi menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan graphic design, sehingga menghasilkan desainer-desainer yang sangat kuat berpegang pada konsep 'You can't not communicate' (Kamu tidak dapat untuk tidak berkomunikasi). Lahir desainer yang kuat sekali konsep komunikasinya khususnya dari Inggris, Jerman dan Swiss. Indonesia cenderung terpengaruh oleh perkembangan fine art, seperti halnya dengan Eropa Timur. Di sini pendidikan banyak berorientasi pada visual seperti ilustrasi dan konsep-konsep estetis. Secara umum, Amerika banyak berorientasi pada Eropa yang menggunakan tipografi (contoh: School of Visual Arts di NY yang dimotori oleh Saul Bass, Paul Rand dan Milton Glaser). Belakangan saja trend dekonstruksi dari literatur dan arsitektur masuk mempengaruhi desain grafis. Beberapa sekolah di situ yang memberikan kebebasan bereksplorasi adalah Art Center College of Design (didirikan oleh tokoh advertising) dan Cranbrook (didirikan oleh arsitek).

Di Eropa, pelajaran advertising dan graphic design dicampur menjadi satu. Di Amrik ini dipisahkan, bahkan Advertising dan Copywriting juga masih dipisahkan. Hasilnya, desainer Eropa lebih generalis dan mampu mendesain mulai dari brosur sampe stand pameran. Di Amrik, desainernya cukup spesialis, ada packaging designer, ada brochure designer. Ini juga bukan maunya si desainer, tapi nature dari pasar sehingga sekolah mengikuti model tersebut.

Perkembangan belakangan ini cukup banyak diwarnai oleh sekolah yang berorientasi pada skill teknis seperti TAFE di Australia (contoh: Billy Blue) , atau Polytechnic di Singapore (ct: Ngee An), Malaysia (Lim Kok Wing), juga bahkan di Canada (ct: Vancouver Film School). Di Amrik, ini nggak pernah jadi mainstream, karena kebutuhan pasarnya cukup demanding bahwa desainer perlu menuntaskan studi 4 th. Untuk advertising, Chicago banyak memiliki sekolah-sekolah advertising yang hanya berdurasi 2 tahun dan hasilnya bahkan lebih baik dibanding mereka yang studi 4 th. Di Asia & Australia, model pendidikan ini berkembang luas karena selain menawarkan pendidikan yang lebih pendek dengan hasil yang lebih konkrit, lagipula kebutuhan/nature dari industri juga berbeda.

Nature pendidikan yang praktis-pragmatis berbeda dengan model pendidikan teoritis-eksperimental. Akademi/Sekolah Tinggi dibuat untuk tujuan pelajaran praktis-pragmatis. Universitas dirancang untuk pendidikan teoritis-eksperimental. Outputnya juga berbeda, Akademis/ST dirancang menghasilkan praktisi. Universitas bertujuan menciptakan akademisi, pendidik, teoritisi. Pendekatan studinya juga berbeda, di Akademi/ST lebih instruksional, sedang di Universitas lebih menciptakan environment yang
mendorong terciptanya teori dan eksperimen.

Melihat kondisi Indo saat ini, mungkin pendekatan Akademi/ST lebih diperlukan daripada pola Universitas. Tetapi dengan kegilaan memburu gelar, kelihatannya Universitas lebih menarik publik sebagai lingkungan belajar. Dengan kondisi ini, mungkin kita perlu mere-invent model kurikulum kita dan menciptakan standar baru.

Q: Memang untuk tau dimana persisnya gap antara industri dan pendidikan perlu waktu dan usaha bersama antara dua dunia yang saling membutuhkan tsb. kapan mas sumbo buat seminar "pendidikan dkv dan industri" dan kita undangin para petinggi iklan dan desain grafis indonesia

A: Di Amrik, ada Siggraph yang diadakan tiap tahun untuk konferensi dunia computer graphic. Selain eksplorasi, eksperimen, pencapaian dari industri dikemukakan di sini, para edukator dan praktisi juga berkumpul untuk mempresentasikan 'kurikulum' ideal menurut mereka. Di sini tidak dicari suatu 'musyarawah untuk mencapai mufakat' tetapi lebih kepada output apa yang ingin dihasilkan sekolah tersebut. Sekolah-sekolah kemudian bisa mengadopsi sebagaian, seluruh atau menolak kurikulum tersebut. Tapi kuncinya bukan kita menciptakan model pendidikan seragam seperti pabrik. Pembentukan kurikulum ini malah menjadi nilai tambah sehingga sekolah bisa memiliki 'positioning'.

Di Singapore kemaren, ada salah satu sekolah mengundang para desainer terkenal untuk melakukan diskusi terbuka yang bisa dinikmati oleh para siswanya (ala dagelan diskusi politik di TV Indonesia). Materi tersebut dimuat di majalah Designer (keluaran asosiasi desainer grafis di Singapore) sehingga bisa menjadi satu wacana baru dan bermanfaat untuk kalangan praktisi maupun akademisi. Tujuan acara tersebut kelihatannya tidak mencari satu jawaban, tetapi mengemukakan berbagai pandangan dan perspektif. Balik lagi kepada tujuan yang ingin dicapai sekolah nantinya, apakah setiap pendapat tersebut mau dimasukkan atau diambil yang sesuai dengan tujuan sekolah.

Dulu, pendidikan diberikan one on one, tetapi ini mahal dan hanya bisa untuk orang-orang kaya. Model pendidikan seperti pabrik yang diadopsi pemerintah Indonesia atau bahkan pendidikan dunia ini berasal dari Prusia (baca: Jerman) yang tujuannya adalah membentuk masyarakat pekerja. Dengan model rantai kerja (seperti pabrik), kita dididik secara standar. Model ini menyamaratakan cara belajar setiap orang, yang agak lambat dipaksa cepat dan yang cepat dipaksa lambat. Yang kurang dianggap bego. Yang pinter dipasung.

Australia memberikan satu solusi yang menarik. Mereka menciptakan suatu sistem rantai pendidikan yang memungkinkan orang untuk belajar berdasarkan kecepatan dan kemampuan yang ia miliki. Misalnya diciptakan ada tingkat 1, 2 dan 3. Kemudian ada a dan b. Untuk siswa yang pas-pasan, mereka menyelesaikan 1a, 2a dan 3a. Untuk siswa yang superior, mereka bisa mengambil 1b, 2b dan 3b. Salah satu persoalan yang mungkin timbul dengan model ini adalah terciptanya 'ego' bahwa saya lebih baik. Tapi ini menurut saya sesuai dengan kondisi pasar yang memang kompetitif.

Saat ini, Digital Studio lebih menganut model politeknik yang cenderung praktis-pragmatis. Tetapi kami juga sedang mempersiapkan kurikulum yang diarahkan kepada model teoritis-eksperimental. Dari pengalaman saya melihat bahwa pendidikan pendek (1-2 tahun) mampu membekali siswanya secara skill dan siap terjun ke industri. Tetapi pendidikan pendek semacam ini ternyata masih belum cukup untuk mengubah perilaku mahasiswa menjadi masyarakat pembelajar ataupun memiliki sikap profesional tetapi tetap humble. Universitas yg 4 th lebih cocok untuk menciptakan environment tersebut. Ini seperti membekali pelajar kita dengan senjata. Mereka pintar menembak, tetapi kadang masih ngaco karena kurang dewasa.

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Dekonstruksi Kurikulum DKV

posted by Sumbo Tinarbuko at Creative Circle Indonesia mailing list

Selamat Senin
Mas Arief ''Adit'' Adityawan, Mas Andi S. Boediman, dan Kawan-Kawan CCI

Salam,
Ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana mendekonstruksi mitos bahwa kurikulum pendidikan itu selalu ketinggalan jaman. Hal ini hanya bisa dilakukan manakala ada hubungan sinergis antara dunia kampus, para alumnus, dengan jagad industri. Dalam catatan saya, pihak industri menginginkan lulusan DKV siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Baik skill drawing, konsep maupun pengusaan software dan hardware komputer. Tuntutan semacam itu hampir tidak pernah bisa dipenuhi. Hal itu bisa dipahami mengingat pengadaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi DKV baik swasta apalagi negeri, tidak bisa dengan serta merta mengikuti perkembangan IT.

Dominasi KURNAS harus mulai dipangkas dan lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual.

Kemudian anggota konsorsium seni dan desain (yang konon merupakan institusi penentu kebijakan terkait dengan pendidikan tinggi seni dan desain) perlu ditambah dengan dewan pakar yang benar-benar mengerti, memahami dan mengetahui perkembangan DKV. Personil dewan pakar diambil dari dosen dan praktisi dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan DKV.

Sistem rekrutmen dosen harus terjaga kualitas dan wibawanya. tidak asal comot. Demikian pula sistem penerimaan mahasiswa baru dilingkungan perguruan tinggi DKV tidak waton banyak. Ini menjadi tidak efektif dalam proses belajar mengajar. Saya pernah mengajar matakuliah DKV I disebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 orang untuk setiap klasnya. Jelas jumlah sebesar itu menjadi tidak efektif dan sulit terjadi proses dialogis antara pihak dosen dengan mahasiswa. Saya tidak tahu bagaimana di UNTAR, BINUS, Pelita Harapan, Paramadina Mulya ....

Berikutnya, pihak industri dituntut peran aktifnya untuk membantu pihak perguruan tinggi DKV dengan misalnya secara berkala memberikan pencerahan terkait dengan pembuatan perancangan konsep kreatif, perencanaan media dll. Membantu memberikan masukan perihal matakuliah apa yang dibutuhkan oleh pihak industri. Kompetensi apa yang diinginkan dari lulusan DKV. Kesediaan pihak industri untuk menerima mahasiswa magang dengan mempersiapkan kurikulum atau materi magang. Kemudian para senior CD dan AD dan
petinggi-petinggi biro iklan dan DKV diharapkan bersedia menjadi 'dosen' dengan sejumlah asisten dosen yang merupakan dosen sebenarnya dari beberapa perguruan tinggi DKV. Model cangkok ini diharapkan terjadi percepatan akselerasi transfer knowledge dari ilmu-ilmu praktisi desain yang nantinya bisa diakomodasikan dan diadaptasikan kepada mahasiswa

Selain itu saya mengusulkan agar industri periklanan ranking Top Ten menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dikumpulkan menjadi Advertising Foundation guna diberikan kepada insan periklanan muda, dosen muda desain komunikasi visual/periklanan yang dinilai mempunyai komitmen memajukan dunia periklanan dan pendidikan desain komunikasi visual untuk melakukan studi banding ke luar negri: Malaysia, Thailand, Australia, Amerika Serikat agar mereka memiliki wawasan lebih dan mendapatkan pencerahan terhadap disiplin ilmu periklanan maupun desain komunikasi visual.

Selain memberikan beasiswa kepada insan periklanan dan dosen desain komunikasi visual/periklanan, Advertising Foundation ini juga mencetak CD yang berisi pemenang lomba iklan (Citra Pariwara) di Indonesia dan di luar Indonesia berikut konsepnya untuk diberikan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan desain komunikasi visual dan periklanan agar perkembangan tersebut bisa disikapi dan diadaptasi di lembaga pendidikan tersebut.

Terkait dengan banyaknya muatan mata kuliah teori, sebenarnya bisa disikapi dengan menyelenggarakan matakuliah teori tetapi dengan muatan praktik. Dalam kapasitas saya sebagai dosen muda, mencoba melakukan eksperimen dalam proses belajar mengajar di lingkungan Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta maupun sekolah swasta yang membuka jurusan desain grafis/desain komunikasi visual dengan metode presentasi dan diskusi setelah mereka mengetahui inti dari sebuah pokok bahasan.

Misalnya pada matakuliah teori Tinjauan Desain II, saya minta mahasiswa mengumpulkan data visual iklan Bentoel Mild dan Sampoerna Mild Menthol kemudian dikaji dengan pendekatan desain komunikasi visual. Pesan apa yang muncul, makna apa yang ingin disampaikan. Kelebihan dan Kelemahan desain tersebut. Opini mereka terhadap keberadaan iklan tersebut. Beberapa aspek dari desain tersebut ditinjau dari kacamata sejarah desain. Semuanya itu mereka tuangkan dalam bentuk makalah kemudian ada beberapa dari mereka saya suruh maju ke depan klas dan mempresentasikan hasil kajiannya. Sementara itu teman-teman lainnya akan merespons, membantai, menambah dst. Hasil yang dicapai, klas menjadi hidup, banyak lontaran-lontaran yang segar banyak pendapat yang cerdas. Klas menjadi lebih hidup. Kali lain, untuk mata kuliah yang sama, saya bawakan data visual berupa iklan bank Mandiri dan iklan kartu Hallo. Mahasiswa saya minta me-redesign iklan tersebut dengan pendekatan gaya futurisme, bauhaus, konstruktivisme dan beggarstaff. Hasilnya didiskusikan, dan dipresentasikan. Hasil yang dicapai: mahasiswa mengetahui perkembangan sejarah desain grafis dan penerapan berbagai isme desain grafis itu dalam konteks kekinian

Sedangkan untuk matakuliah praktik, seperti Diskom I dan Diskom IV, saya melontarkan kasus tentang perlunya sistem pertandaan di kawasan wisata di Yogyakarta yang didesain dengan pendekatan desain komunikasi visual. Mereka saya minta mencari data verbal dan data visual ke objek wisata: tamansari, makam imogiri, kotagede, pantai parangtritis, baron, sundak, candi prambanan, candi boko. Setelah masing-masing data mereka kumpulkan kemudian dikemas dalam sebuah konsep kreatif, lalu dilakukan presentasi awal untuk
dilakukan cross cek data dan pendekatan visual antara mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan saya sebagai dosen pembimbing. Berikutnya kristalisasi dari berbagai data tersebut yang mendasari lahirnya karya desain yang diharapkan bisa menjawab permasalahan yang dimunculkan di depan. Hasilnya digelar dalam bentuk pameran untuk mendapatkan respon yang lebih natural.

Hal yang sama juga terjadi pada matakuliah diskom IV. Pada awal kuliah, saya menghadirkan presidium Walhi DIY, mereka saya persilakan mempresentasikan aktivitas pelestarian lingkungan hidup yang menjadi konsentrasi kegiatan Walhi. Mahasiswa mencatat, mendiskusikan. Pertemuan berikutnya, mahasiswa saya minta mengembangkan data berdasarkan presentasi dari pihak Walhi. Mahasiswa melakukan penelitian lapangan, dikristalisasikan menjadi konsep, dibuat karya desain, dipresentasikan secara terbuka di luar klas bersamaan dengan pameran karya tersebut, teman-teman lainnya merespon, mendiskusikan, membantai, tidak setuju dll. Berdasarkan masukan semacam itu, sang desainer mengetahui kelemahan dan kekurangan dari setiap lekuk-lekuk karyanya.

Dengan metode eksperimen semacam ini, saya merasakan ada proses komunikasi dua arah antara pembimbing dengan mahasiswa. Ada interaksi yang lebih mendalam, pembahasan materi menjadi lebih terbuka. Kira-kira begitu....

Untuk tawaran mengadakan seminar ''pendidikan DKV dan industri'' saya pikir justru Mas Adit (UNTAR) dan kawan-kawan perguruan tinggi desain dari Jakarta: BINUS, Paramadina Mulya, InterStudy DKV S-1, IKJ, Pelita Harapan plus shortcourse desain komunikasi visual yang lebih tepat menjadi penyelenggara. Saya akan dengan senang hati membantu.

Mas Adit, secara sepintas saya pernah membaca buku anggitan Anda berjudul Tinjauan Desain .... Kalau berkenan, mbok saya dikirimi barang satu buku guna menambah kepustakaan LSKdeskomvis. Terima kasih sebelumnya. Salam untuk Pak Umar sudah saya sampaikan
Saya pernah mengirimkan satu artikel untuk Jurnal Untar: ''Semiotika sebagai Metode Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual'' Saya kehilangan kontak dengan naskah jurnal tersebut. Layak muatkah artikel tersebut atau malah sudah di-delete. Bisakah Mas Adit memberikan informasi perihal keberadaan nasib tulisan saya tersebut?


Salam,
Sumbo Tinarbuko
LSKdeskomvis: penelitian, perancangan, dan konsultan desain komunikasi visual
www.lskdeskomvis.8m.com