Tuesday, March 12, 2002

Mana Bisa Jadi Lokal?

Re: mana bisa jadi lokal

>supaya menggugah pikiran para Agency kita, dan menggugah kretifitas para
anak bangsa ini. Kita harus membebaskan dari dari pengaruh asing , yang
memperlemah spirit anak bangsa ini.

Saya lebih melihat dari sisi audience, siapa yang kita bidik. Ada consumer
yang memiliki cita rasa lokal tinggi, ada pula yang dibesarkan dengan budaya
MTV. Jadi di dalam komunikasinya ini yang akan menentukan apakah kita perlu
melakukan pendekatan yang ala asing atau menggunakan local genius. Yang
penting adalah consumer insightnya kita identifikasikan dulu.

Keunggulan bersaing kita tentu saja punya pemahaman akar budaya yang lebih
susah dimiliki bangsa lain yang masuk ke Indonesia. Yang cukup menarik,
kebetulan saya punya koleksi The Best Director untuk iklan commercial. Yang
terlihat di situ adalah mereka-mereka ini adalah orang-orang yang punya
kekuatan baik local genius maupun global perspective. Kelihatannya yang
perlu kita pelajari adalah bagaimana orang kayak John Woo mampu
menyumbangkan 'dialek' visualnya menjadi bahasa yang diterima dunia.


>Konon lagi, Malaysia kuat di talent-nya. Sungai Gangga kuat di ide-nya.
Indonesia.........? kuat dimana ya????

Dari pengalaman saya, kekuatan orang Indonesia terletak di visualnya. Kita
tidak dibesarkan dengan budaya literatur yang amat kuat seperti Eropa. Oleh
karena itu orang kita cenderung punya 'rasa' visual yang jauh lebih baik.
Dari pengalaman studi saya yang cukup menyedihkan adalah keunggulan awal ini
pada akhirnya kalah di masa akhir studi karena kita kalah dalam proses
analisa, berpikir konseptual dan strategis. Bakat visual cenderung kita
sombongkan dan di belakang desain kita hanya nampak bagus, tapi nggak
berisi, nggak punya pesan.

Malaysia pun start sama dgn kita. Di th 60-an cuma ada 1 art director bangsa
Malaysia, Lim Kok Wing yang sekarang udah bergelar datuk dan bikin sekolah.
Visinya bagus, ia pingin bangsa Malaysia duduk sama tinggi dengan 'rambut
pirang'. Ia mengundang rekan-rekannya untuk kembali ke lingkungan akademis,
membantu proses pendidikan.

>cuma, infrastruktur di indonesia yang masih sangat kurang...

Ini nggak pernah boleh jadi alasan. Analoginya, kalo listrik mati, tetep
output harus keluar. Usaha kita bersama saat ini saya lihat sangat OK,
membuka wacana diskusi milis, ada Cakram Award. Kayak konsep 360 derajat
branding. Yang perlu menjadi tugas para praktisi ini adalah selain nge-reply
email ini, harusnya bantuin sekolah-sekolah yang ada, nyumbang artikel di
Cakram (biar tim Cakram tambah heppi nggak perlu lembur :), sharing di
forum, nulis buku tentang pengalamannya. Pokoknya segala macem kita gabungin
sama-sama. Little things can make a big difference.

>tuh, tanya sama Mas Andi S. Boediman... gimana kualitas lulusan Digital
Studio!

Di awal, semuanya pingin belajar hal teknis, tapi sekarang kelihatannya
mulai berbuah, diskusi computer graphic mulai aktif, baik dari sisi teknis,
estetis maupun konseptual dan strategis. Semoga langkah kecil ini bisa jadi
lompatan besar, tul nggak !:)

>masih banyak orang kreative di indonesia yang mempunya kendala dalam bahasa
inggris...

Setuju. Satu lagi, BACA BUKU masih kurang. Kalo saya naik kendaraan umum di
Amrik, mereka gantungan di bus juga bawa buku (namanya aja pocket book yang
seukuran kantong). Saya lagi jaga malam bawa buku bacaan pasti ditanyanya
kalo nggak Kuliah di mana? atawa Ngajar di mana? Emang kalo nggak kuliah dan
ngajar nggak boleh baca nih? Yang boleh cuman baca novel, Shin Chan atau
Donal Bebek :)


>Dari posting dibawah ini terlihat suatu apatisme dan ketakutan akan
globalisasi yang sebenarnya tidak perlu. Memang dari beberapa obrolan saya

Setuju. Saya suka istilah Michael Porter, Keunggulan Bersaing (biar keren
nih) Selama kita mempertahankan keunggulan bersaing kita dari sisi skill,
knowledge, wawasan, malah kita yang harus menakut-nakuti mereka bahwa kita
punya 200 juta orang talented yang siap going global.

Kemarin dari diskusi salah satu temen Indonesia yang sekarang bekerja di
Jerman, ia punya satu konsep menarik. Orang Jerman itu pada dasarnya agak
kayak robot, semua dibikinin analisa, standard operating procedure secara
langkah demi langkah. Uniknya, dalam waktu relatif singkat, mereka yang
tadinya ketinggalan jauh di bidang film misalnya, bisa nyusul kualitas
Hollywood (contoh: Roland Emerich). Kesimpulannya berada pada semua itu bisa
dipelajari, bukan sekedar talent. Yang kurang dari kita saat ini adalah itu
tadi, bikin analisa, bikin SOP, masukkan ke kurikulum sekolah, para praktisi
terjun jadi pengajar dan kita punya Keunggulan Bersaing.

>Warga tepi sungai Gangga (he he he gue demen banget
pake istilah ini) juga banyak (dan mereka berambut
hitam), plus tetangga-tetangga kita di kawasan Asia
juga mulai banyak pegang posisi penting.

Yang unik dari pengamatan saya terhadap warga tepi sungai Gangga ini. Mereka
ini kalo nggak bener-bener hebat, biasanya juga puuinter ngomong dan
kerjaannya nyontek (bukan sara lho). Saya pikir ini terjadi karena
persaingan yang amat ketat antar mereka sendiri. Ini yang nggak kita punyai
di sini. Kita punya semangat gotong royong terlalu kuat. Sejak masa sekolah
kita nggak suka murid pinter, yang iya adalah yang pinter harus nyontekin
semua orang biar nggak ntar dikerjain. Ini yang bikin mental jadi lemah,
bisanya adalah kumpul-kumpul, terus.....demo dan kerusuhan.

>Asal ada bulenya, lebih dipercaya." Memang sih,
kemarin ini DHL dipegang oleh Advantage (ada bulenya),

Saya lihat ini bukan masalah kreatifitas, tetapi masalah profesionalisme.
Orang Indonesia cenderung kurang disiplin, deadline molor, ide nunggu dari
wangsit, dll.

Andi
Digital Studio

No comments:

Post a Comment